From: Maroko
Di masa mudanya, Bahlul hidup bersama ibunya. Ibunya adalah seorang perempuan miskin yang hampir tidak punya apa-apa kecuali seekor kambing dan anak lelakinya sendiri. Tibalah suatu hari ketika dia tidak punya uang lagi dan tidak ada apa pun di rumah yang dapat dimakan.
“Ke sinilah, anakku, semoga Allah melindungimu dan memberimu rezeki,” katanya. “Bawalah kambing ini ke pasar di kota dan juallah agar kita dapat membeli sepotong roti untuk makan kita.”
Bahlul membawa kambing itu keluar dari desa. Tidak lama kemudian dia tiba di sebuah tempat yang sunyi. Dia melihat seekor burung hantu hinggap di atas sebuah batu.
“Uh-huh!” seru si burung hantu.
“Apakah kamu ingin membeli kambingku?” tanya Bahlul.
“Uh-huh!”
“Apakah kamu punya uang sepuluh dinar untuk membayarnya?” tanya Bahlul.
“Uh-huh!”
“Kalau begitu dia jadi milikmu; semoga dia bisa mendatangkan keberuntungan kepadamu!” kata Bahlul. Dia menunggu dibayar dan akhirnya meminta uang pada burung hantu, tapi burung hantu hanya mengulang seruannya, “Uh-huh!”
“Jika kamu ingin aku datang untuk mengambil uangnya besok, maka aku akan kembali!” kata Bahlul, dan berlari pulang.
“Berapa uang yang kamu peroleh darinya?” tanya ibu Bahlul ketika dia melihatnya pulang tanpa kambingnya.
“Aku setuju untuk menunggu bayaran sepuluh dinar sampai besok,” kata Bahlul.
“Mengapa, kepada siapa kamu menjualnya?” tanya sang ibu.
“Kepada seekor burung yang berkata ‘Uh-huh!’ Dia berjanji uangnya akan siap besok.”
“Kamu tidak akan mendapatkan uang atau buah melon dari seekor burung hantu, anakku,” kata ibu Bahlul. “Kita tidak akan melihat uang sepuluh dinar besok atau pada saat panen aprikot, semoga Allah mengampuni kebodohanmu!”
Keesokan harinya, Bahlul kembali ke tempat sunyi itu, dan menemukan si burung hantu hinggap di atas batu yang sama.
“Aku datang untuk mengambil uang pembayar kambingku,” seru Bahlul, tapi yang dikatakan burung hantu hanya “Uh-huh!” Akhirnya, Bahlul memungut sebutir batu dan melempar burung itu, yang terbang menuju sebuah lubang sempit di antara dua batu besar. bahlul mengejarnya dan menemukan dirinya telah berada di sebuah goa. Di atas tanah, di depannya berdiri sebuah kendi tanah liat yang penuh berisi kepingan emas. “Akan kuambil apa yang kamu pinjam dariku,” kata Bahlul pada burung hantu, dan menghitung sepuluh kepingan emas.
“Dari mana kamu menemukan semua ini, putraku?” tanya ibunya.
“Aku mengikuti burung itu ke goanya dan mengambil apa yang dia pinjam dariku dari persediaan emas miliknya.”
“Dapatkah kamu menemukan tempat itu lagi?”
“Ya,” kata Bahlul.
“Maukah kamu membawaku ke sana besok?”
“Dengan senang hati,” kata Bahlul.
Sebelum pergi tidur malam itu, ibu Bahlul memasak sepanci penuh buncis dan sejenis kacang lainnnya serta mengikatnya pada sebuah kantung. Begitu hari terang, dia membangunkan putranya, dan mereka berdua berangkat menuju goa si burung hantu. Setinya di sana, ibu Bahlul meniti bebatuan, memanjat ke dalam goa, dan mengumpulkan seluruh emas di situ untuk dimasukkan ke rok bajunya. Tidak lama kemudian, dia dan anaknya sudah dalam perjalanan pulang kembali. Dalam perjalanan pulang ke desa, ibu Bahlul terus melemparkan segenggam buncis dan kacang masak ke udara. Bahlul sigap menangkapnya dan memasukkannya ke dalam mulutnya.
Sementara ibunya dengan hati-hati menggali sebuah lubang di lantai rumah mereka untuk mengubur panci berisi emas itu, Bahlul menyebarkan kabar baik itu kepada semua orang yang ditemuinya. “Ibuku telah menemukan harta karun!” katanya gembira kepada orang-orang desa.
“Di mana dia menemukannya?” tanya mereka.
“Di antara bebatuan di jalan sana.”
“Kapan dia menemukannya?”
“Tepat sebelum turun hujan buncis dan kacang.”
Mendengar jawabannya, orang-orang desa tersenyum maklum dan menggeleng-gelengkan kepala mereka.
Di masa mudanya, Bahlul hidup bersama ibunya. Ibunya adalah seorang perempuan miskin yang hampir tidak punya apa-apa kecuali seekor kambing dan anak lelakinya sendiri. Tibalah suatu hari ketika dia tidak punya uang lagi dan tidak ada apa pun di rumah yang dapat dimakan.
“Ke sinilah, anakku, semoga Allah melindungimu dan memberimu rezeki,” katanya. “Bawalah kambing ini ke pasar di kota dan juallah agar kita dapat membeli sepotong roti untuk makan kita.”
Bahlul membawa kambing itu keluar dari desa. Tidak lama kemudian dia tiba di sebuah tempat yang sunyi. Dia melihat seekor burung hantu hinggap di atas sebuah batu.
“Uh-huh!” seru si burung hantu.
“Apakah kamu ingin membeli kambingku?” tanya Bahlul.
“Uh-huh!”
“Apakah kamu punya uang sepuluh dinar untuk membayarnya?” tanya Bahlul.
“Uh-huh!”
“Kalau begitu dia jadi milikmu; semoga dia bisa mendatangkan keberuntungan kepadamu!” kata Bahlul. Dia menunggu dibayar dan akhirnya meminta uang pada burung hantu, tapi burung hantu hanya mengulang seruannya, “Uh-huh!”
“Jika kamu ingin aku datang untuk mengambil uangnya besok, maka aku akan kembali!” kata Bahlul, dan berlari pulang.
“Berapa uang yang kamu peroleh darinya?” tanya ibu Bahlul ketika dia melihatnya pulang tanpa kambingnya.
“Aku setuju untuk menunggu bayaran sepuluh dinar sampai besok,” kata Bahlul.
“Mengapa, kepada siapa kamu menjualnya?” tanya sang ibu.
“Kepada seekor burung yang berkata ‘Uh-huh!’ Dia berjanji uangnya akan siap besok.”
“Kamu tidak akan mendapatkan uang atau buah melon dari seekor burung hantu, anakku,” kata ibu Bahlul. “Kita tidak akan melihat uang sepuluh dinar besok atau pada saat panen aprikot, semoga Allah mengampuni kebodohanmu!”
Keesokan harinya, Bahlul kembali ke tempat sunyi itu, dan menemukan si burung hantu hinggap di atas batu yang sama.
“Aku datang untuk mengambil uang pembayar kambingku,” seru Bahlul, tapi yang dikatakan burung hantu hanya “Uh-huh!” Akhirnya, Bahlul memungut sebutir batu dan melempar burung itu, yang terbang menuju sebuah lubang sempit di antara dua batu besar. bahlul mengejarnya dan menemukan dirinya telah berada di sebuah goa. Di atas tanah, di depannya berdiri sebuah kendi tanah liat yang penuh berisi kepingan emas. “Akan kuambil apa yang kamu pinjam dariku,” kata Bahlul pada burung hantu, dan menghitung sepuluh kepingan emas.
“Dari mana kamu menemukan semua ini, putraku?” tanya ibunya.
“Aku mengikuti burung itu ke goanya dan mengambil apa yang dia pinjam dariku dari persediaan emas miliknya.”
“Dapatkah kamu menemukan tempat itu lagi?”
“Ya,” kata Bahlul.
“Maukah kamu membawaku ke sana besok?”
“Dengan senang hati,” kata Bahlul.
Sebelum pergi tidur malam itu, ibu Bahlul memasak sepanci penuh buncis dan sejenis kacang lainnnya serta mengikatnya pada sebuah kantung. Begitu hari terang, dia membangunkan putranya, dan mereka berdua berangkat menuju goa si burung hantu. Setinya di sana, ibu Bahlul meniti bebatuan, memanjat ke dalam goa, dan mengumpulkan seluruh emas di situ untuk dimasukkan ke rok bajunya. Tidak lama kemudian, dia dan anaknya sudah dalam perjalanan pulang kembali. Dalam perjalanan pulang ke desa, ibu Bahlul terus melemparkan segenggam buncis dan kacang masak ke udara. Bahlul sigap menangkapnya dan memasukkannya ke dalam mulutnya.
Sementara ibunya dengan hati-hati menggali sebuah lubang di lantai rumah mereka untuk mengubur panci berisi emas itu, Bahlul menyebarkan kabar baik itu kepada semua orang yang ditemuinya. “Ibuku telah menemukan harta karun!” katanya gembira kepada orang-orang desa.
“Di mana dia menemukannya?” tanya mereka.
“Di antara bebatuan di jalan sana.”
“Kapan dia menemukannya?”
“Tepat sebelum turun hujan buncis dan kacang.”
Mendengar jawabannya, orang-orang desa tersenyum maklum dan menggeleng-gelengkan kepala mereka.
0 comments:
Post a Comment