Saturday 24 March 2012

Kisah Putri dalam Pakaian Kulit


Tidak di sini, tidak pula di sana, hiduplah seorang raja yang mempunyai istri yang dicintainya dengan segenap hatinya dan seorang putri yang menjadi cahaya bagi matanya. Sang putri belum lagi menginjak dewasa ketika ratu jatuh sakit dan meninggal. Selama setahun penuh raja tak pernah memicingkan mata, duduk dengan kepala tertunduk di samping pusara istrinya. Lalu dia memanggil para comblang, yaitu perempuan-perempuan tua yang telah makan asam-garam kehidupan, dan berkata, “Aku ingin menikah lagi. Inilah gelang kaki ratu yang malang. Carikan untukku gadis, kaya atau miskin, dari kalangan rakyat jelata atau bangsawan, yang kakinya cocok dengan gelang kaki ini. Sebab aku berjanji kepada ratu saat dia menjelang ajal bahwa aku akan menikah dengan gadis itu dan bukan yang lain.”

Para comblang itu bepergian ke seluruh wilayah kerajaan untuk mencari istri baru bagi raja. Tapi meskipun mereka telah mencari kemana-mana, mereka tidak dapat menemukan seorang gadis pun yang kakinya cocok dengan gelang kaki itu. Penampilan ratu memang sedemikian rupa sehingga tidak ada yang menyamainya. Lalu salah seorang perempuan tua itu berkata, “Kita telah memasuki rumah setiap gadis di negeri ini kecuali rumah putri raja sendiri. Mari kita pergi ke istana.”

Ketika mereka memasukkan gelang kaki itu ke kaki putri, ukurannya benar-benar pas, seakan-akan gelang tersebut memang dibuat untuknya. Dari tempat itu larilah para perempuan tua itu langsung menghadap raja, dan berkata, “Kami telah mengunjungi setiap gadis di negeri paduka, namun tak seorang pun yang dapat mengecilkan kakinya agar bisa dimasuki gelang kaki almarhumah ratu. Tak seorang pun, kecuali putri paduka sendiri. Dia memakainya dengan mudah seakan-akan gelang kaki itu memang miliknya.” Seorang perempuan yang telah berkerut-kerut kulitnya berkata, “Mengapa tidak mengawini putri saja? Mengapa harus menyerahkan dia kepada orang asing dan meniadakan kesempatan paduka sendiri?” Kata-kata itu belum lagi selesai diucapkan ketika raja memanggil qadi untuk menyiapkan ijab-qabul. Kepada sang putri dia tidak menyebut-nyebut tentang rencananya.

Berlangsunglah kesibukan di istana ketika para jauhari, perancang pakaian, dan juru rias datang untuk mendandani putri. Putri merasa senang ketika mengetahui dia akan dinikahkan. Tapi siapa yang akan menjadi suaminya dia tidak punya firasat sama sekali. Hingga larut pada “malam pengantin,” ketika mempelai pria pertama kali melihat istrinya, dia tetap tidak tahu meskipun para pelayan dengan bisik-bisik mereka sibuk di sekelilingnnya, menyisir rambut, menyematkan hiasan, dan menjadikan dirinya tampak cantik. Akhirnya putri menteri, yang datang untuk mengaguminya dalam pakaiannya yang indah, berkata, “Mengapa kamu memberengut saja? Bukankah perempuan itu diciptakan untuk menjadi istri pria? Dan adakah pria yang punya kedudukan lebih tinggi daripada raja sendiri?”

“Apa arti pembicaraan itu?” teriak putri. “Aku tidak akan mengatakannya padamu,” kata gadis itu, “kecuali jika kamu berikan padaku gelang emas di lenganmu itu untuk kusimpan.” Putri melepaskan gelangnya, dan kawannya menjelaskan bahwa segalanya telah direncanakan sedemikian rupa sehingga mempelai pria tidak lain dari ayah putri sendiri.

Wajah putri berubah menjadi lebih putih dibanding kain yang membungkus kepalanya dan dia gemetar layaknya orang yang sedang menderita sakit demam empat puluh hari. Dia bangkit berdiri dan menyuruh pergi semua orang yang ada di dekatnya. Lalu, setelah menyadari bahwa dia harus melarikan diri, dia bergegas menuju teras dan melompati tembok istana, mendarat di halaman rumah tukang samak kulit yang ada di bawah. Dia menyerahkan segenggam emas kepada tukang samak itu dan berkata, “Dapatkah kamu buatkan aku sebuah pakaian dari kulit yang dapat menyembunyikan diriku dari ujung kepala hingga ujung kaki, yang tidak dapat menunjukkan apa pun kecuali mataku? Aku ingin pakaian itu selesai saat fajar menyingsing besok pagi.”

Pria miskin itu merasa senang sekali menerima uang tersebut. Dia mulai bekerja bersama istri dan anak-anaknya. Dengan memotong dan menjahit sepanjang malam, pakaian itu siap sebelum hari cukup terang untuk membedakan benang putih dari benang hitam. Tunggu sebentar! Dan datanglah sang putri. Dia mengenakan pakaian itu—pemandangan yang begitu aneh sehingga setiap orang yang memandangnya akan mengira bahwa yang dilihatnya tidak lain dari setumpuk kulit. Dengan samaran inilah dia meninggalkan tukang samak kulit itu dan berbaring di samping gerbang kota, menanti siang hari.

Kini, kembali pada tuanku sang raja. Ketika dia memasuki kamar pengantin dan mendapati bahwa putri telah pergi, dia memerintahkan pasukannya ke seluruh kota untuk mencarinya. Berkali-kali seorang serdadu menemukan tubuh putri yang berbaring di gerbang dan bertanya, “Pernahkah kamu melihat putri raja?”
Gadis itu menjawab,
“Namaku Juleidah karena pakaian kulitku yang melekat,
Mataku lemah, pandanganku sama-samar,
Telingaku tuli, aku tak dapat mendengar,
Aku tidak memedulikan siapa pun, jauh maupun dekat.”
Ketika siang tiba dan gerbang kota dibuka, dia menyeret tubuhnya keluar tembok. Lalu dia memalingkan wajahnya dari kota ayahnya, dan lari.

Terus berjalan dan berlari, tibalah hari ketika—bersama terbenamnya matahari—putri sampai di kota lain. Karena terlalu lelah untuk bepergian lebih jauh, dia jatuh ke atas tanah. Kini, tempatnya tidur, ada di bawah bayang-bayang tembok keputren, yaitu harem dari istana sultan. Seorang gadis budak, yang melongok dari jendela untuk membuang remah-remah dari meja makan istana, melihat tumpukkan kulit di atas tanah dan tidak memedulikannya. Ketika melihat sepasang mata cemerlang yang menatapnya dari balik kulit itu, dia melompat takut ke belakang, dan berkata kepada ratu, “Tuan putri, ada sesuatu yang mengerikan meringkuk di bawah jendela kita. Hamba telah melihatnya, dan tampaknya dia tidak lain dari sesosok Ifrit!”
“Bawalah ia ke sini agar aku bisa melihat dan menilainya,” kata ratu.

Gadis budak itu turun sambil gemetar ketakutan, tanpa mengetahui mana yang lebih mudah dihadapi, monster di luar itu atau kemarahan majikannya jika dia tidak melaksanakan perintahnya. Tapi putri di dalam pakaian kulit itu tidak bersuara sama sekali ketika si gadis budak menarik sudut pakaian kulitnya. Dia memberanikan dirinya dan menyeret sang putri sepanjang jalan untuk menghadap istri sultan.

Belum pernah sesosok makhluk yang begitu aneh terlihat di negeri itu. Dengan mengangkat kedua tangannya karena keheranan, ratu bertanya pada pelayannya, “Apakah ini?” Mereka berpaling dari monster itu, dan bertanya, “Siapakah kamu?” Tumpukan kulit itu menjawab,
“Namaku Juleidah karena pakaian kulitku yang melekat,
Mataku lemah, pandanganku sama-samar,
Telingaku tuli, aku tak dapat mendengar,
Aku tidak memedulikan siapa pun, jauh maupun dekat.”

Betapa terpingkal-pingkalnya ratu tertawa! “Bawakan makanan dan minuman untuk tamu kita,” katanya, sambil memegangi pinggangnya. “Kita akan menahannya di sini untuk menghibur hati kita.” Setelah Juleidah makan, ratu berkata,
“Katakan pada kami apa yang dapat kamu lakukan, sehingga kami dapat mempekerjakanmu di sekitar istana ini.”
“Apa pun yang engkau minta untuk kulakukan, aku siap untuk mencoba,” kata Juleidah.

Lalu ratu berseru, “Juru masak! Bawalah makhluk yang patah sayapnya ini ke dapurmu. Semoga karena dirinya Allah akan memberikan rahmat-Nya pada kita.”

Maka kini putri kita yang cantik menjadi pembantu di dapur, menjaga nyala api dan mengumpulkan abu. Dan setiap kali ratu tidak punya teman dan merasa bosan, dia memanggil Juleidah dan tertawa mendengar ocehannya.

Suatu hari wazir mengumumkan bahwa seluruh harem sultan diundang ke malam hiburan yang diselenggarakan di rumahnya. Sepanjang hari berlangsung kegembiraan di keputren. Ketika ratu bersiap-siap untuk pergi pada malam harinya, dia berhenti di dekat Juleidah dan berkata, “Maukah kamu pergi bersama kami malam ini? Semua pelayan dan budak diundang. Tidakkah kamu takut untuk tinggal sendirian?” Tapi Juleidah hanya mengulang kata-kata yang pernah diucapkannya sebelumnya,

Telingaku tuli, aku tak dapat mendengar,
Aku tidak memedulikan siapa pun, jauh maupun dekat.

Salah seorang gadis pelayang mendengus dan berkata, “Apa yang akan membuatnya takut? Dia buta dan tuli dan tidak akan menyadari kedatangan Ifrit bahkan jika makhluk itu melompat di atas tubuhnya di tengah kegelapan!” Maka mereka berangkat.

Di bangsal tamu perempuan, di rumah wazir, terhidang jamuan makan dan kemeriahan dan musik serta aneka hiburan. Tiba-tiba di puncak keasyikan mereka berbicara dan bersenang-senang, seseorang yang begitu menarik masuk dan membuat mereka berhenti di tengah pembicaraan yang tengah mereka lakukan. Tinggi bagaikan pohon cemara, dengan wajah secantik bunga mawar dan pakaian dari sutra serta dengan permata yang hanya pantas dikenakan oleh istri seorang raja, gadis itu seakan-akan memenuhi ruangan itu dengan cahaya. Siapakah dia? Juleidah, yang telah melepaskan pakaian kulitnya begitu seluruh penghuni harem sultan pergi. Dia mengikuti mereka ke rumah wazir, dan kini para perempuan yang sebelumnya begitu gembira mulai bertengkar, karena masing-masing ingin duduk di samping pendatang baru itu.

Ketika fajar menjelang, Juleidah mengambil segenggam perhiasan emas dari lipatan pita di pinggangnya dan menebarkannya ke lantai. Perempuan-perempuan itu berebut untuk memungut harta-benda yang gemerlapan itu. Dan sementara mereka sibuk, Juleidah meninggalkan bangsal. Cepat-cepat dia berlari kembali ke dapur istana dan mengenakan pakaian kulitnya. Tak lama kemudian yang lain-lain pun datang. Melihat tumpukan kulit di lantai dapur, ratu menyodoknya dengan ujung selop merahnya dan berkata, “Sungguh, aku berharap kau pergi bersama kami untuk mengagumi gadis yang datang di pesta tadi.”

Juleidah hanya bergumam, “Mataku lemah, pandanganku samar-samar ...” dan mereka semua pergi ke tempat tidur masing-masing untuk tidur.

Ketika ratu bangun keesokan harinya, matahari telah tinggi di langit. Sebagaimana kebiasaannya, putra sultan datang untuk mencium tangan ibunya dan mengucapkan selamat pagi. Tapi perempuan itu hanya membicarakan tamu di pesta wazir. “Ya putraku,” desahnya, “dia adalah seorang perempuan dengan wajah dan leher serta bentuk tubuh sedemikian rupa sehingga semua orang yang melihatnya akan berkata, ‘Dia pasti bukan hanya putri seorang raja atau sultan, melainkan orang yang lebih hebat lagi!’” Berkali-kali ratu melontarkan puji-pujian pada perempuan itu, hingga hati pangeran terbakar.

Ibunya berkata, “Mestinya aku telah menanyakan nama ayahnya sehingga aku dapat meminangnya untuk menjadi istrimu.” “Jika engkau kembali ke sana malam ini untuk melanjutkan pesta, aku akan berdiri di luar pintu rumah wazir dan menunggu sampai gadis itu pergi. Maka aku akan bertanya tentang ayahnya dan kedudukannya,” jawab putra sultan. Ketika matahari tenggelam, para perempuan mendandani di ri mereka sekali lagi. dengan lipatan pakaian mereka yang berbau harum bunga jeruk dan kemenyan serta gelang-gelang bergemerincing di tangan, mereka melewati Juleidah yang berbaring di dapur istana dan berkata, “Maukah kamu pergi bersama kami malam ini?” Tapi Juleidah membalikkan punggungnya. Lalu begitu mereka semua teah pergi, dia melepaskan seluruh pakaian kulitnya dan bergegas mengejar mereka.

Di bangsal rumah wazir para tamu berdesakan agar dapat mendekati Juleidah, ingin melihatnya dan bertanya dari mana asalnya. Tapi terhadap semua pertanyaan mereka gadis itu tidak memberi jawaban, baik ya maupun tidak, meskipun dia duduk bersama mereka hingga fajar menjelang. Lalu dia menebarkan segenggam mutiara di atas lantar marmer, dan sementara para perempuan saling mendorong di antara sesama mereka untuk menangkap perhiasan tersebut, dia menyelinap pergi dengan mudah seperti mencabut selembar rambut dari adonan roti.

Nah, siapa yang berdiri di depan pintu? Pangeran, tentu saja. Dia telah menanti saat ini. Dengan menghalangi jalan, dia memegang tangan gadis itu dan bertanya siapa ayahnya dan dari negeri mana asalnya. Tapi putri harus segera kembali ke dapur atau rahasianya akan terbongkar. Maka dia berusaha melawan agar bisa pergi, dan dalam perlawanannya itu, dia menarik cincin pangeran hingga lepas dari tangannya. “Setidak-tidaknya katakan padaku dari mana asalmu!” pangeran berteriak kepadanya saat gadis itu berlari. “Demi Allah, katakan padaku di mana!”

Gadis itu menjawab, “Aku tinggal di negeri antah-berantah.” Lalu dia berlari menuju istana, dan bersembunyi di balik pakaian kulitnya.

Datanglah para perempuan yang lain, sambil berbicara dan tertawa. Pangeran menceritakan pada ibunya apa yang telah terjadi dan menyatakan bahwa dia bermaksud mengadakan perjalanan. “Aku harus pergi ke negeri antah-berantah.”

Katanya. “Sabarlah, putraku,” kata ratu. “Beri aku waktu untuk mempersiapkan bekalmu.” Meskipun semangatnya menyala-nyala, pangeran setuju untuk menunda keberangkatannya selama dua hari. “Tapi tidak boleh lebih satu jam pun!” Kini, dapur menjadi tempat yang paling sibuk di istana. Ada yang menggiling dan mengayak, membuat adonan dan memanggang, dan Juleidah hanya berdiri menonton. “Pergilah kamu,” teriak juru masak, “ini bukan tugasmu!” “Aku ingin melayani tuanku pangeran seperti yang lainnya!” kata Juleidah. Mau tak mau, juru masak membiarkannya untuk membantu dan memberinya sepotong adonan untuk dibentuk. Juleidah mulai membuat roti, dan ketika tak seorang pun melihat, dia memasukkan cincin pangeran ke dalam adonan itu. Dan ketika makanan dibungkus, Juleidah meletakkan roti kecil yang dibuatnya sendiri di bagian paling atas.

Pagi-pagi, di hari ketiga, bekal makanan telah dimasukkan ke dalam kantung-kantung pelana, dan pangeran berangkat bersama para pelayan dan orang-orangnya. Dia berkuda tanpa istirahat hingga matahari mulai menyengat. Lalu dia berkata, “Mari kita istirahatkan kuda-kuda kita sementara kita makan.”

Seorang pelayan, melihat roti Juleidah yang kecil di bagian paling atas, membuangnya. “Mengapa kamu buang roti itu?” tanya pangeran.

“Itu hasil kerja Juleidah; aku melihat dia membuatnya,” kata pelayan. “Bentuk roti ini sama anehnya dengan dia.” Pangeran merasa kasihan pada makhluk yang setengah-waras itu dan meminta pelayannya untuk mengambil kembali roti buatannya. Ketika dia menyobek roti itu, lihat, cincinnya sendiri ada di dalamnya! Cincinnya yang hilang pada malam hiburan di rumah wazir. Kini dia tahu di mana letak negeri antah-berantah itu, dan memberi perintah untuk kembali. Setelah raja dan ratu menyalaminya, pangeran berkata, “Ibu, suruh Juleidah membawakan makan malamku.”
“Dia nyaris tidak dapat melihat atau mendengar,” kata ratu. “Bagaimana mungkin dia membawakan makan malammu?”
“Aku tidak mau makan kecuali jika Juleidah yang membawakan makanan itu,” kata pangeran. Maka ketika tiba waktunya, para juru masak menata hidangan di atas baki dan membantu Juleidah mengangkatnya di atas kepala. Maka pergilah dia menaiki tangga, tapi sebelum sampai di kamar pangeran, dia menjatuhkan mangkuk dan seluruh baki berserakan di atas lantai. “Aku sudah mengatakan padamu bahwa dia tidak dapat melihat,” kata ratu kepada putranya.
“Dan aku hanya mau makan makanan yang dibawakan Juleidah,” kata pangeran.

Para juru masak menyiapkan makanan kedua, dan setelah mereka menyeimbangkan letak baki yang penuh makan itu di atas kepala Juleidah, mereka menyuruh dua orang gadis budak untuk memegangi kedua tangannya dan menuntunnya menuju kamar pangeran. “Pergilah,” kata pangeran kepada dua budak itu, “dan kamu, Juleidah, ke sinilah.” Juleidah mulai berkata,
“Namaku Juleidah karena pakaian kulitku yang melekat,
Mataku lemah, pandanganku sama-samar,
Telingaku tuli, aku tak dapat mendengar,
Aku tidak memedulikan siapa pun, jauh maupun dekat.”

Akan tetapi, pangeran berkata kepadanya, “Ke sinilah dan isi cangkirku.”
Sewaktu gadis itu mendekat, pangeran menarik belati yang tergantung di pinggangnya dan menyayat pakaian kulit itu dari atas hingga ke bawah. Pakaian itu jatuh teronggok di atas lantai—dan di situ berdirilah gadis yang digambarkan ibunya, yaitu gadis yang dapat berkata kepada bulan, “Tenggelamlah engkau sehingga aku dapat bersinar menggantikan dirimu.”

Setelah menyembunyikan Juleidah di sudut ruangan, pangeran memanggil ratu. Perempuan itu berteriak ketika dia melihat tumpukan kulit di atas lantai. “Mengapa, putraku, apakah kamu membunuhnya? Makhluk malang itu lebih pantas mendapat belas kasihan daripada hukuman darimu!”

“Masuklah, ibu” kata pangeran, “Masuk dan lihatlah Juleidah kita sebelum engkau berduka cita.” Dia menuntun sang ibu ke tempat ketika putri kita duduk tanpa selubung, kecantikannya memenuhi ruangan itu dengan kilauan cahaya. Ratu berlari memeluk gadis itu dan menciumnya di sana-sini, dan menyuruhnya duduk bersama pangeran dan makan. Lalu dia memanggil qadi untuk menuliskan perjanjian yang akan mengikat pangeran dengan putri yang jelita itu, dan setelahnya mereka hidup bersama dalam kebahagiaan yang paling manis.

Sekarang kita kembali kepada raja, ayah Juleidah. Ketika dia memasuki kamar pengantin untuk membuka cadar di wajah putrinya sendiri dan mendapati gadis itu telah pergi, dan ketika dia telah mencarinya ke seluruh pelosok kota dengan sia-sia, dia memanggil menterinya dan para pelayannya serta bersiap-siap untuk mengadakan perjalanan. Dari satu negeri ke negeri lain dan berjalan, memasuki satu kota dan meninggalkan kota berikutnya, sambil membawa perempuan tua yang pertama-tama menyarankan padanya untuk mengawini putrinya sendiri. Akhirnya, dia tiba di kota tempat tinggal Juleidah bersama suaminya, sang pangeran.

Nah, putri sedang duduk di depan jendela ketika mereka memasuki gerbang, dan dia mengenali mereka begitu dia melihatnya. Segera dia memanggil suaminya dan mendesaknya untuk mengundang orang-orang asing tersebut. pangeran pergi untuk menemui mereka dan baru berhasil menahan mereka setelah mendesak berkali-kali, sebab mereka sudah tidak sabar untuk meneruskan pencarian. Mereka makan di bangsal tamu pangeran, lalu berterima kasih kepada tuan rumah dan berpamitan dengan kata-kata berikut ini: “Pepatah mengatakan, ‘Makanlah sampai kenyang, tapi setelah itu bangkitlah, berdiri di atas kakimu!’” Sementara itu, pangeran mengulur waktu, mengucapkan pepatah, “Di mana engkau meletakkan janggutmu, di situlah engkau menggelar tempat tidurmu!”

Akhirnya, kebaikan hati pangeran berhasil memaksa orang-orang asing yang kelelahan itu untuk tidur di rumahnya sebagai tamu malam itu. “Tapi mengapa kamu mengecualikan orang-orang asing ini?” pangeran bertanya pada Juleidah. “Pinjamkan padaku jubah dan kerudung kepalamu dan biarkan aku pergi menemui mereka,” kata Juleidah. “Tidak lama lagi kamu akan tahu alasanku.”

Dengan menyamar seperti itu, Juleidah duduk bersama tamu-tamunya. Ketika cangkir-cangkir kopi telah diisi dan diminum, dia berkata, “Mari kita ceritakan kisah-kisah untuk melewatkan waktu. Maukah engkau berbicara lebih dulu, atau aku?”

“Biarkan kami tenggelam dalam kesedihan kamu, anakku,” kata raja, ayahnya. “Kami tidak punya semangat untuk mendongeng.”

“Kalau begitu aku akan menghidurmu, dan mengalihkan perhatianmu,” kata Juleidah. “Dulu pernah ada seorang raja,” dia memulai, dan selanjutnya menceritakan sejarah petualangannya sendiri dari awal hingga akhir.

Sesekali perempuan tua itu menyela dan berkata, “Tidak dapatkah engkau menemukan kisah yang lebih baik dari ini, anakku?” Namun, Juleidah terus melanjutkan ceritanya, dan setelah selesai dia berkata, “Akulah putrimu, yang tertimpa segala bencana ini akibat kata-kata pendosa tua dan penyebar aib ini!”

Keesokan harinya, mereka melemparkan perempuan tua itu dari atas bukit karang ke dalam wadi. Lalu raja menyerahkan separuh kerajaannya kepada putrinya dan pangeran, dan mereka hidup dalam kebahagiaan serta kesenangan hingga kematian, yang memisahkan orang-orang yang saling mengasihi, datang menjemput mereka.

Kisah dari Mesir

0 comments:

Post a Comment