Monday, 18 July 2011

Asal Mula Terjadinya Danau Toba


Pada zaman dahulu ada seorang petani bernama Toba yang menyendiri di sebuah lembah yang landai dan subur. Petani itu mengerjakan sawah dan ladang utnuk keperluan hidupnya.

Selain mengerjakan ladangnya, kadang-kadang lelaki itu pergi memancing ikan ke sungai yang berada tak jauh dari rumahnya. Setiap kali dia memancing, mudah saja ikan didapatnya karena di sungai yang jernih itu memang banyak sekali ikan. Ikan hasil pancingannya dia masak untuk dimakan.

Pada suatu sore, setelah pulang dari ladang lelaki itu langsung pergi ke sungai untuk memancing. Tetapi sudah cukup lama dia memancing, tak seekor ikan pun didapatnya. Kejadian yang begitu belum pernah dia alami. Sebab biasanya ikan di sungai itu mudah saja dia pancing. Karena sudah terlalu lama tak ada juga kan yang memakan umpan pancingnya, dia jadi kesal dan memutuskan untuk berhenti saja memancing. Tetapi ketika dia hendak menarik pancingnya, tiba-tiba pancing itu disambar ikan yang langsung menarik pancing itu jauh ke tengah sungai. Hatinya yang tadi sudah kesal berubah menjadi gembira, karena dia tahu bahwa ikan yang menyambar pancingnya itu adalah ikan yang besar. Setelah beberapa lama ia biarkan pancingnya ditarik ikan itu kesana kemari, barulah pancing itu ditariknya perlahan-lahan. Ketika pancing itu disentakkannya tampaklah seekor ikan besar tergantung dan menggelepar-gelepar di ujung tali pancingnya. Dengan cepat ikan itu ditariknya ke darat supaya tidak lepas. Sambil tersenyum gembira mata pancingnya dia lepas dari mulut ikan itu. Pada saat dia sedang melepaskan mat apancing itu, ikan tersebut memandangnya dengan penuh arti. Kemudian, setelah ikan itu diletakkannya ke satu tempat dia pun masuk ke dalam sungai untuk mandi. Perasaannya gembira sekali karena belum pernah dia mendapat ikan sebesar itu. Dia tersenyum sambil membayangkan betapa enaknya nanti daging ikan itu kalau sudah dipanggang. Ketikan dia meninggalkan sungai utnuk pulang ke rumahnya hari sudah mulai senja. Setibanya di rumah, lelaki itu langsung membawa ikan besar hasil pancingannya itu ke dapur. Ketika dia hendak menyalakan api untuk memanggang ika itu, ternyata kayu bakar di dapurnya sudah habis. Dia segera keluar untuk mengambil kayu bakar dari bawah kolong rumahnya. Kemudian, sambil membawa bbeapa potong kayu bakar dia naik kembali ke atas rumah dan langsung menuju dapur.

Pada saat lelaki itu tiba di dapur, dia terkejut sekali karena ikan besar itu sudah tidak ada lagi. Tetapi di tempat ikan itu tadi diletakkan tempat erhampar bebeapa keping uang emas. Karena terkejut dan heran mengalami keadaan yang aneh itu, dia meninggalkan dapur dan masuk ke kamar.

Ketika lelaki itu membuka pintu kamar, tiba-tiba darahnya tersirap karena di dalam kamar itu berdiri seorang perempuan dengan rambut yang panjang terurai. Perempuan itu sedang menyisir rambutnya sambil berdiri menghadap cermin yang tergantung pada dinding kamar. Sesaat kemudian, perempuan itu tiba-tiba membalikkan badannya dan memandang lelaki itu yang tegak kebingungan di mulut pintu kamar. Lelaki itu menjadi sangat terpesona karena wajah perempuan yang berdiri di hadapannya luar biasa cantiknya. Dia belum pernah melihat perempuan secantik itu meskipun dahulu dia sudah jaun mengembara ke berbagai negeri.

Karena hari sudah malam, perempuan itu minta agar lampu dinyalakan. Setelah lelaki itu menyalakan lampu, dia diajak perempuan itu mengawaninya ke dapur karena dia hendak memasak nasi untuk mereka. Sambil menunggu nasi masak, diceritakan oleh perempuan itu bahwa dia adalah penjelmaan dari iakn besar yang tadi didapat lelaki itu ketika memancing di sungai. Kemudian dijelaskannya pula bahwa beberapa keping uang emas yang terletak di dapur itu adalah penjelmaan sisiknya. Setelah beberapa minggu perempuan cantik itu tinggal serumah bersamanya, pada suatu hari lelaki itu melamar perempuan tersebut untuk jadi istrinya. Perempuan tersebut menyatakan bersedia menerima lamarannya dengan syarat lelaki itu harus bersumpah bahwa seumur hidupnya dia tidak akan pernah mengungkit asal usul istrinya yang menjelma jadi ikan. Setelah lelaki itu bersumpah demikian, kawinlah mereka.

Setahun kemudian, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang mereka beri nama samosir. Anak itu sangat dimanjakan ibunya yang mengakibatkan anak itu berabiat kurang baik dan pemalas.

Seelah cukup besar, anak itu disuruh ibunya mengantar nasi setiap hari untuk ayahnya yang bekerja di ladang. Namun, sering dia menolak mengerjakan tugas itu sehingga terpaksalah ibunya yang mengantarkan nasi ke ladang.

Suatu hari, anak itu disuruh ibunya lagi mengantarkan nasi ke ladang utnuk ayahnya. Mulanya dia menolak. Akan tetapi, karena terus dipaksa ibunya, dengan kesal pergilah dia mengantarkan nsi itu. Di tengah jalan, sebagian besar nasi dan lauk pauknya dia makan. Setibanya di laang, sisa nasi yang hanya tinggal sedikit dia berikan kepada ayahnya. Saat menerimanya, si ayah sudah sangat lapar karena nasinya sudah sangat erlambat sekali diantarkan. Oelh karena itu, maka si ayah jadi sangat marah ketika melihat nasi yang diberikan kepadanya adalah sisa-sisa. Amarahnyamakin bertambah ketika anak nya mengaku bahwa dia yang memakan sebagian besar dari nasi itu. Kesabaran si ayah menjadi hilang dan dia pukuli anaknya sambil mengatakan “Anak yang tak bisa diajar. Tidak tahu diuntung. Betul-betul kau anak keturunan perempuan yang berasal dari ikan!”

Sambil menangis, anak itu berlari pulang menemui ibunya di rumah. Kepada ibunya dia adukan bahwa dia dipukuli ayahnya. Semua kata-kata cercaan yang diucapkan ayahnya kepadanya diceritakan pula. Mendengar cerita anaknya itu, si ibu sedih sekali, terutama karena suaminya sudah melanggar sumpahnya dengan kata-kata cercaan yang dia ucapkan kepada anaknya itu. Si ibu menyuruh anaknya agar segra pergi mendaki bukit yang terletak tak begitu jauh dari rumah mereka dan memanjat pohon kayu tertinggi yang erdapat di puncak bukit itu. Tanpa bertanya lagi, si anak segera melakukan prinah ibunya itu. Dia berlari-lari menuju ke bukit tersebut dan mendakinya.

Ketika tampak oleh si ibu anaknya sudah hampir sampai ke puncak pohon kayu yan dipanjatnya di atas bukit, dia pun berlari menuju sungai yang tidak begitu jauh letaknya dirumah mereka itu. Ketika di tiba ditepi sungai itu kilat menyamar disertai bunyi guruh yang menggelegar. Sesaat kemudian dia melompat ke dalam sungai dan tiba-tiba berubah menjadi seekor ikan besar. Pada saat yang sama, sungai itupun banjir besar dan turun pula hujan yang sangat lebat. Bebrapa waktu kemudian, air sungai itu sudah meluap ke mana-mana dan tenggelamlah lembah tempat sungai itu mengalir. Pak Toba tidak bisa menyelamatkan dirinya, ia mati tenggelam oleh genangan air. Lama-kelaman, genangan air itu semakin luas dan berubah menjadi danau yang sangat besar yang kemudian hari dinakaan orang danau toba. Sedang pulau kecil di tengah-tengahnya diberi nama Pulau Samosir.

Read More - Asal Mula Terjadinya Danau Toba

Hikayat Malin Kundang


Dahulu kala di Padang Sumatera Barat tepatnya di Perkampungan Pantai Air Manis ada seorang janda bernama Mande Rubayah. Ia mempunyai seorang anak laki-laki bernama Malin Kundang. Malin sangat disayang oleh ibunya, karena sejak kecil Malin Kundang sudah ditinggal mati oleh ayahnya.

Malin dan ibunya tinggal di perkampungan nalayan. Ibunya suah tua ia hanya bekerja sebagai penjual kue. Pada suatu hari Malin jatuh sakit. Tubuhnya mendadak panas sekali. Mande Rubayah tentu saja sangat bingung. Tidak pernah Malin jatuh sakit seperti ini. Mande Rubayah berusaha sekuatnya unuk mengabobati Malin dengan mendatangkan tabib.

Nyawa Malin yang hampir melayang itu akhirnya dapat diselamatkan berkat usaha keras ibunya. Setelah sembuh dari sakitnya ia makin disayang. Demikianlah Mande Rubayah sangat menyayangi anaknya. Sebaliknya Malin juga amat sayang kepada ibunya.

Ketika sudah dewasa, Malin berpamitan kepada ibunya untuk pergi merantau. Pada saat itu memang ada kapal besar yang merapat di Pantai Air Manis.

“Bu, ini kesempatan yang baik bagi saya,” kata Malin. “Belum tentu setahun sekali ada kapal besar merapat di pantai ini. Saya berjanji akan merubah nasib kita sehingga kita akan menjadi kaya raya.”

Meski dengan berat hati akhirnya Mande Rubayah mengijinkan anaknya pergi. Malin dibekali dengan nasi berbungkus daun pisang sebanyak tujuh bungkus.

Hari-hari berlalu terasa lambat bagi Mande Rubayah. Setiap pagi dan sore Mande Rubayah memandang ke laut. Ia bertanya-tanya dalam hati, sampai di manakah anaknya kini? Jika ada ombak dan badai besar menghempas ke pantai, dadanya berdebar-debar. Ia mengadahkan kedua tangannya ke aas sembari berdo’a agar anaknya selamat dalam pelayaran. Jika ada kapal yang datang merapat ia selalu menanyakan kabar tentang anaknya. Tetapi semua awak kapal atau nahkoda tidak pernah memberikan jawaban yang memuaskan. Malin tidak pernah menitipkan barang atau pesan apapun kepada ibunya.

Itulah yang dilakukan Mande Rubayah setiap hari selama bertahun-tahun. Tubuhnya semakin tua dimakan usia. Jika berjalan ia mulai terbungkuk-bungkuk.

Pada suatu hari Mande Rubayah mendapat kabar dari nakhoda yang dulu membawa Malin bahwa sekarang malin telah menikah dengan seorang gadis cantik putri seorang bangsawan kaya raya. Ia turut gembira mendengar kabar itu. Ia selalu berdo’a agar anaknya selamat dan segera kembali menjenguknya.

“Ibu sudah tua Malin, kapan kau pulang...” rintih MANDE RUBAYAH tiap malam.

Namun hingga berbulan – bulan semenjak ia menerima kabar malin belum juga datang menengoknya. Namun ia yakin bahwa pada suatu saat Malin pasti akan kembali.

Harapannya terkabul. Pada suatu hari yang cerah dari kejauhan tampak sebuah kapal yang indah berlayar menuju pantai. Kapal itu megah dan bertingkat – tingkat. Orang kampung mengira kapal itu milik seorang sultan atau seorang pangeran. Mereka menyambutnya dengan gembira.

Ketika kapal itu mulai merapat, tampak sepasang muda mudi berdiri di anjungan. Pakaian mereka berkilauan terkena sinar matahari. Wajah mereka cerah dihiasi senyum. Mereka nampak bahagia karena disambut dengan meriah.

Mande Rubayah ikut berdesakan melihat dan mendekati kapal. Jantungnya berdebar keras. Dia sangat yakin sekali bahwa lelaki muda itu adalah anak kesayangannya si Malin Kundang.

Belum lagi tetua desa sempat menyambut, Ibu Malin terlebih dahulu menghampiri Malin. Ia langsung memeluk malin erat – erat. Seolah takut kehilangan anaknya lagi.

“Malin, anakku,” katanya menahan isak tangis karena gembira.

“Mengapa begitu lamanya kau tidak memberi kabar?”

Malin terpana karena dipeluk wanita tua renta yang berpakaian compang – camping itu. Ia tak percaya bahwa wanita itu adalah ibunya. Seingat Malin, ibunya adalah seorang wanita berbadan tegar yang kuat menggendongnya kemana saja. Sebelum dia sempat berpikir dengan tenang, istrinya yang cantik itu meludah sambil berkata, “Cuih! Wanita buruk inikah ibumu? Mengapa kau membohongi aku?”

lalu dia meludah lagi. “Bukankah dulu kau katakan ibumu adalah seorang bangsawan sederajad dengan kami?”

Mendengar kata – kata istrinya, Malin Kundang mendorong wanita itu hingga terguling ke pasir. Mande Rubayah hampir tidak percaya pada perikau anaknya, ia jatuh terduduk sambil berkata, “Malin, Malin, anakku. Aku ini ibumu, nak!”

Malin Kundang tidak menghiraukan perkataan ibunya. Pikirannya kacau karena ucapan istrinya. Seandainya wanita itu benar ibunya, dia tidak akan mengakuinya. Ia malu kepada istrinya. Melihat wanita itu beringsut hendak memeluk kakinya, Malin menendangnya sambil berkata, “Hai, perempuan tua! Ibuku tidak seperti engkau! Melarat dan dekil!”


Wanita tua itu terkapar di pasir. Orang banyak terpana dan kemudian pulang ke rumah masing-masing. Tak disangka Malin yang dulu disayangi tega berbuat demikian. Mande Rubayah pingsan dan terbaring sendiri. Ketika ia sadar, Pantai Air Manis sudah sepi. Dilaut dilihatnya kapal Malin semakin menjauh. Hatinya perih seperti ditusuk-tusuk. Tangannya ditadahkannya ke langit. Ia kemudian berseru dengan hatinya yang pilu, “Ya, Allah Yang Maha Kuasa, kalau dia bukan anakku, aku maafkan perbuatannya tadi. Tapi kalau memang dia benar anakku, Malin Kundang, aku mohon keadilan-Mu, Ya Tuhan ...!”

Tidak lama kemudian cuaca di tengah laut yang tadinya cerah, mendadak berubah menjadi gelap. Hujan tiba-tiba turun dengan teramat lebatnya. Entah bagaimana awalnya tiba-tiba datanglah badai besar. Menghantam kapal malin kundang. Disusul sambaran petir yang menggelegar. Seketika kapal itu hancur berkeping-keping. Kemudian terhempas ombak hingga ke pantai.

Ketika mathari pagi memancarkan sinarnya, badai telah reda. Di kaki bukit terlihat kepingan kapal yang telah menjadi batu. Itulah kapal Malin Kundang. Tak jauh dari tempat itu nampak sebongkah batu yang menyerupai tubuh manusia. Konon itulah tubuh Malin Kundang anak durhaka yang kena kutuk ibunya menjadi batu. Disela-sela batu itu berenang-renang ikan teri, ikan belanak dan ikan tengiri. Konon, ikan itu berasal dari serpihan tubuh sang istri yang terus mencari Malin Kundang.

Demikianlah sampai sekarang jika ada ombak besar menghantam batu-batu yang mirip kapal dan manusia itu, terdengar bunyi seperti lolongan jeritan manusia. Sungguh memilukan kedengarannya. Kadang-kadang bunyinya seperti orang meratap menyesali diri. “Ampuuuun, Bu ... ! Ampuuuun... Buuuuu ... !” konon itulah suara si Malin Kundang.

Orang yang durhaka kepada orang tuanya terutama kepada ibunya, orang tersebut tidak akan bisa masuk surga kecuali setelah mendapat pengampunan dari ibunya.

Read More - Hikayat Malin Kundang

Kisah Asal Mula Salju


Putri salju adalah seorang putri yang sangat cantik jelita. Begitu cantiknya sehingga ia menjadi kebanggaan rakyat negeri awan putih. Baginda raja dan ratu sangat berharap, kelak sang putri akan mendapatkan pangeran yang tampan dan sepadan dengan putri.

Putri salju sendiri tidak pernah memikirkan untuk menikah. Ia sangat senang hidup di negerinya bersama orang tua dan rakyat yang menyayanginya.

Suatu hari, ada seorang pangeran calon raja dari negeri angin. Pangeran itu sangat gagah dan cerdas, setelah melihat putri salju, ia berniat untuk mempersunting putri salju. Raja dan ratu langsung menyetujuinya. Putri salju dengan sedih menerima karena ia tidak ingin melawan orang tuanya.

"Baiklah, kalau putri bersedia. Bulan ini kita segera menikah." Kata pangeran dengan hati gembira. Putri salju sangat terkejut mendengar rencana pernikahan yang begitu cepat.
"Aku tidak mau menikah pada bulan ini," kata putri salju."
"Mengapa? lebih cepat lebih baik. aku masih harus mengerjakan banyak hal untuk negeri dan rakyatku" pangeran berkata dengan gusar.
"Sekarang masih musim dingin, banyak pepohonan beku, bunga belum bermekaran, tunggu bulan depan saja, bunga sudah mulai kuncup dan bermekaran. Aku ingin pada bulan pernikahanku dihiasi dengan harum bunga, kicau burung, semua menjadi lebih indah." jelas putri salju,
"Tidak bisa!! tugasku menumpuk. pokoknya harus bulan ini." kata pangeran tegas.

Pangeran segera pulang ke negeri angin, puteri salju sangat sedih dan menangis tersedu - sedu. ayah puteri salju menghibur puteri salju, ia berjanji akan memetik bunga - bunga di taman kaca istana dan akan membawa seluruh koleksi burung di istana.

Seminggu kemudian hari pernikahan tiba. pangeran telah siap dengan pakaian kebesaran. dengan diiringi pengawal dan pembesar istana yang angkuh. Mereka membawa banyak hadiah untuk calon mempelai perempuan. perhiasan, pakaian, sutra, sepatu. semua sangat indah dan mahal.

Namun bagi putri salju, saat itu adalah saat paling kelabu bagi puteri salju. Tidak ada harum bunga, kicau burung, dan rimbunnya daun. Udara begitu dingin menusuk tubuh.

Dalam hati putri salju berharap agar mau mengucapkan kata - kata yang lembut dan manis, sebagai ungkapan cintanya pada putri salju.

"Apakah kau benar - benar mencintaiku?" bisik putri salju di tengah keramaian pesta.
"Tentu, tapi jangan harap kau bermanja - manja, bila nanti tiba di istanaku, rakyat menginginkan seorang permaisuri yang bijaksana. Tidak manja dan cengeng." Jawab pangeran.

Putri salju terkejut mendengar jawaban pangeran. Pangeran ternyata begitu dingin, putri salju sangat sedih. Selama upacara pernikahan putri salju menahan kekecewaannya.


"sekarang kita sudah menikah, segeralah berkemas. kita harus segera ke negeri angin, banyak tugas yang harus ku selesaikan." kata pangeran,
Putri salju memandang suaminya, dia berharap pangeran dapat memahami hatinya. Namun harapannya sia - sia.
"Bunga - bunga ini sangat indah, bolehkah kubawa atau kupasang di kereta kuda kita?" pinta putri salju.
"Bunga - bunga itu hanya akan mengotori kereta. Kita berangkat sekarang juga." jawab pangeran.

Putri salju kecewa dan merasa kesal. Sebelum pergi meninggalkan orangtua dan istananya, ia berjalan ke ruang - ruang istana yang sebentar lagi akan ditinggalkannya. Banyak kenangan masa kecil yang melintas di matanya. air matanya menitik sedih.

Ketika ia menaiki kereta kuda pangeran terhadilah peristiwa yang mengagumkan. Para dayang berlarian keluar istana dan menghampiri putri salju.
"Putri jangan pergi dulu," kata seorang dayang. "Lihat banyak gumpalan putih dan lembut jatuh dari langit seperti kupu - kupu."

Semua tampak indah dan mengagumkan. pangeran dan pengawalnya pun tertegun kagum melihat kejadian itu.

tidak tahu pasti apa yang menyebabkan terjadinya gumpalan putih tersebut. Namun banyak yang menduga, gumpalan itu adalah lambang dari kesedihan putri salju. mulai hari itu seluruh orang menyebut gumpalan putih dari langit itu dengan nama salju.

#Di sadur dari majalah INO edisi II tahun 2002#

Read More - Kisah Asal Mula Salju

Kisah Gagak Putih


Cerita Rakyat Myanmar

Dulu, di Myanmar burung merak dan burung gagak berwarna putih bersih. Penampilan mereka jaman dulu berbeda dengan penampilan mereka sekarang, namun sifat mereka tidak berubah. Burung gagak adalah pengurus rumah tangga yang buruk, sarangnya selalu kotor dan tidak teratur, ditambah lagi dia jarang mandi, maka dari itu bulunya selalu kotor. Merak memiliki sifat yang bertolak belakang, dia rapi dan bersih, sarangnya selalu rapi, dan merak selalu mandi beberapa kali sehari, maka dari itu bulunya berwarna putih bersih.

Merak sangat kawatir dengan sifat gagak. suatu hari ia melihat gagak makan sembarangan. "Jangan makan makanan busuk, biji dan buah segar jauh lebih baik bagimu", ujar merak kepada gagak, Tapi dasar malas, si gagak tetap saja memakan makanan yang diperolehnya tanpa harus bekerja.

Suatu hari gagak datang dengan tubuh penuh dengan lumpur, ia melihat tubuh merak yang putih bersih dan mengkilat. "Apakah hari ini kau habiskan untuk mencuci bulumu?" tanya gagak kepada merak. "Ya benar, tampaknya bulumu juga perlu di cuci, gagak" Sahut merak. dengan malas gagak menyetujui tawaran itu.


Ketika merak memandikan gagak, ia berkata "Seandainya kita berdua memiliki berwarna - warni, orang pasti tertarik kepada kita." "ah apa bedanya?" sahut gagak. "Gagak, kita akan menjadi burung paling indah di dunia. Bagaimana kalau kau mengecat bulumu, dan nanti ganti kau yang mengecat bulukku?"kata merak. Gagak menyetujui usul sahabatnya itu dan ia mau mengecat bulu merak terlebih dahulu. Dengan senang hati merak membimbing gagak untuk mengecat bulunya. Merak sangat gembira melihat hasilnya yang indah dan menawan. "Betapa indahnya, sekarang giliranku untuk mengecat bulumu, gagak." kata merak dengan riang.

Pada saat merak akan melukis bulu sahabatnya itu gagak melihat bangkai tupai terapung di sungai. dengan tak sabar gagak ingin menyantap bangkai itu. "Merak cepatlah. lukis buluku dengan satu warna saja supaya cepat selesai." "sabar gagak, aku akan melukis bulumu seindah buluku." kata merak.

"Tidak usah, cat aku dengan satu warna saja. Hitam. aku lapar, tidak tahan lagi niiih" jawab gagak.Merak menuruti perintah gagak, ia menuang cat hitam ke tubuh gagak, dan seketika gagak berubah menjadi hitam. Setelah selesai si gagak langsung menyerbu bangkai tupai yang terapung di sungai itu.

Sejak kejadian itu, burung merak memiliki bulu yang indah sedangkan bulu gagak berwarna hitam.

Akibat tidak bisa menahan nafsu makan dan kurang sabar gagak tidak memiliki bulu indah yang berwarna - warni.

#ditulis ulang dari majalah INA edisi 19 tahun 1999#

Read More - Kisah Gagak Putih

Apa yang Ditulis di Kening akan Dilihat Mata


From: Irak

Ada seorang pedagang yang mempunyai seorang istri dan seorang anak perempuan dan tidak ada lagi yang lain. Ketika kematian mengetuk pintu, anak itu tinggal sendirian bersama ibunya. Nah, perempuan ini menguasai seni ilmu gaib melalui hamparan pasir.

Dia dapat menebarkan segenggam pasir dan membaca masa depan dari ngarai dan lembah yang berbentuk darinya. Suatu hari dia mengucapkan doanya dan memohon kepada Allah agar menuntun tangannya. Tapi ketika dia menebarkan pasir, dia melihat bahwa budaknya yang berkulit hitam ditakdirkan untuk menikahi anak perempuan satu-satunya. Dia memohon pertolongan Allah agar terhindar dari gangguan setan dan mencoba lagi. yang terungkap kepadanya tidak berbeda. Tertulis di situ bahwa pelayan prianya akan menjadi suami putrinya. “Bagaimana mungkin anakku yang cantik disandingkan dengan orang seperti dia?” katanya.

Tidak lama kemudian dia menyusun suatu rencana untuk mengenyahkannya. Dia memanggil pelayan itu dan berkata, “Ada tugas yang harus kamu kerjakan. Aku ingin kamu pergi menemui Mata Matahari, Ain Asy-Syams, dan bertanya kepadanya, ‘Akan menjadi keberuntungan siapakah putri majikanku nanti?’”

“Aku akan pergi dengan senang hati,” kata si pelayan. Maka perempuan itu mempersiapkan apa yang dibutuhkan untuk perjalanannya dan melepasnya pergi.

Pelayan itu tidak punya pengalaman. Dia tidak bisa membedakan antara kota dan desa dan tidak punya gambaran sama sekali ke mana atau dengan cara apa dia harus pergi. Untunglah di perjalanan dia bertemu seorang pria bertangan bengkok sedang menggembalakan kambing putih hitam dan kambing hitam.

“Damai!” kata si budak.
Pria itu menjawab, “Salaam!
Si budak bertanya, “Katakan padaku, jalan apakah ini dan ke mana arahnya?”
Pria itu berkata, “Jalan mana yang ingin kamu masuki? Tempat apa yang kamu cari?”
Si budak menjawab, “Aku mencari Ain Asy-Syams untuk bertanya, ‘Akan menjadi keberuntungan siapakah putri majikanku nanti?’”
“Ho ho!” kata pria itu. “Jika kamu bertemu Ain Asy-Syams maukah kamu membatuku untuk bertanya padanya, ‘Berapa lama lagi gembala itu harus mengawasi ternaknya?’”

Si budak setuju. Lalu dia meneruskan perjalanannya. Dia bertemu seorang pria yang sedang memetik panen, memotong tanam-tanaman yang hijau, dan juga yang telah kering serta melemparkan semuanya ke sungai.

"Salaam!” kata si budak.
Pria itu menyahut, “Semoga damai menyertaimu! Kemana kamu akan pergi, Saudara?”
“Aku akan pergi ke tempat Ain Asy-Syams untuk bertanya kepadanya, ‘Akan menjadi keberuntungan siapakah putri majikanku nanti?’”
Pria itu berkata, “Jika kamu sampai di sana maukah kamu mengajukan pertanyaan ini kepada Ain Asy-Syams: ‘Berapa lama lagi orang itu harus melemparkan seluruh hasil panennya ke dalam air, tanpa membedakan antara yang mendah dan yang matang?’”

Si budak setuju dan meneruskan langkahnya, berjalan dan berjalan dan berjalan, hingga dia tiba di lautan yang tidak punya sumber maupun dasar.

Di atasnya seekor ikan mengapung. “Ke mana kamu akan pergi?” ikan bertanya.
“Menemui Ain Asy-Syams untuk menanyakan, ‘Akan menjadi keberuntungan siapakah putri majikanku nanti?’”
“Bagaimana caramu menemuinya?” tanya ikan. Ketika pria itu menjawab bahwa dia tidak tahu, ikan berkata, “Aku akan mengantarmu. Aku akan membawamu menyeberangi lautan di atas punggungku, tapi setelah tiba di sana kamu harus bertanya kepada Ain Asy-syams, ‘Mengapa ikan mengapung di atas air?’” Si budak setuju, dan ikan membawanya ke pantai seberang serta berjanji akan menanti sampai dia kembali.

Pria itu berjalan dan berjalan dan berjalan hingga dia bertemu dengan Ain Asy-Syams. Yang pertama-tama ditanyakannya adalah, “Ya Ain Asy-Syams, akan menjadi keberuntungan siapakah putri majikanku nanti?”

Dia berkata, “Keberuntunganmu. Milikmu. Milikmu.”

Lalu si budak berkata, “Gembala itu ingin aku menanyakan padamu berapa lama lagi dia harus mengembalakan ternaknya”.

Dia menjawab, “Dialah orang yang harus menggembala siang dan malam. Ini akan tetap menjadi pekerjaannya hingga akhir zaman.”

Si budak berkata, “Bagus. Tapi bagaimana dengan pemetik panen yang memotong buah yang hijau dan yang masak dan melemparkannya ke dalam air, tanpa membeda-bedakannya? Berapa lama lagi dia harus bekerja?”

Dia menjawab, “Dialah orang yang mendatangkan kematian kepada kaum tua dan kaum muda, dan pekerjaannya tidak akan berakhir. Panen buah yang masih hijau itu adalah orang-orang yang masih muda dan bodoh, sedangkan buah yang sudah matang adalah orang-orang yang sudah beruban.”

“Aku masih punya satu pertanyaan lagi,” kata si budak.
“Katakanlah,” undang Ain Asy-Syams.
“Ikan ini, mengapa ia mengapung di atas air, tidak dapat menyelam atau tenggelam?”
“Biar ikan itu membawamu lebih dulu menyeberangi lautan,” sahut Ain Asy-Syams. “Setelah kamu mendarat dengan aman, tepuklah punggungnya. Ia akan meludahkan sebuah mutiara sebesar buah kemiri dan selanjutnya dia akan dapat bergabung dengan kawan-kawannya di bawah laut. Mutiara itu hadiah untukmu. Pada sisi lain jalan yang akan membawamu pulang, kamu akan menemukan sebuah kolam batu. Pada salah satunya terdapat harta melimpah, sedangkan pada yang satu lagi air. Mandilah pada satu kolam dan kamu akan berubah menjadi putih bagai perak. Harta yang melimpah itu untukmu, ambillah.”

Apa yang dikatakannya dilaksanakan budak berkulit hitam itu. Dia berubah menjadi putih bagai perak dan pulang dengan membawa seluruh harta yang diikatkannya pada punggung sebarisan bagal.


Dengan cara yang megah itulah dia sampai di depan pintu majikannya, sementara seluruh masyarakat di kota itu mengikutinya terheran-heran. Dia masuk, dan majikannya tidak mengenalinya. Takjub, perempuan itu berkata pada dirinya sendiri, “Ini pastilah putra saudara lelaki suamiku yang tinggal di kota lain. Dia pasti telah mendengar kabar tentang kematian pamannya dan datang untuk meminang saudara sepupunya. Siapa yang lebih berhak atas putriku selain saudara sepupu pertamanya?”

Maka budak itu tinggal di dalam rumah sebagai tamu kehormatan. Selama itu dia tidak mengajukan pertanyaan dan majikannya tidak menanyakan apa-apa kepadanya. Lalu perempuan itu berkata, “Apakah kamu ingin gadis ini menjadi istrimu?”
“Jika engkau menginginkannya,” katanya.

Maka mereka mengadakan persiapan. Mereka menetapkan sejumlah uang mahar. Apa yang harus dijahit, dijahit, dan yang harus disulam, disulam. Gadis itu dibawa ke tempat mandi umum dan tamu-tamu diundang.

Nah, malam pengantin telah tiba. Gadis itu duduk di kamar pengantin. Mempelai pria mengenakan pakaian yang indah, dan janggutnya berbau wangi kemenyan. Dia berdiri setinggi para pahlawan dalam dongeng, kedua lengannya terlipat di dada dan ketampanannya bersinar layaknya cahaya bulan. Wajah gadis itu memerah saat memandangnya. Meskipun dia menanti suaminya untuk berbicara, pria itu tidak mengatakan apa-apa. Gadis itu berharap suaminya untuk duduk di sampingnya, tapi dia tetap berdiri.

Akhirnya si gadis berkata, “Mengapa kamu tidak beristirahat?”
Pria itu menyahut, “Wahai putri majikanku, bagaimana mungkin aku datang atau pergi tanpa perintahmu?”
“Betapa anehnya perkataanmu! Mengapa kamu berkata begitu?” tanya si gadis.
“Sebab aku adalah pelayanmu,” katanya. “Ibumu menyuruhku pergi untuk menemui Ain Asy-Syams, dan beginilah aku jadinya!”
“Apa yang kamu sampaikan padaku tidak boleh disampaikan pada siapa pun!” katanya. Seraya tertawa di depan wajah pria tampan itu, si gadis berkata pada dirinya sendiri, “Terpujilah Allah atas takdirku ini! Terpujilah Allah atas keberuntunganku ini!”

Read More - Apa yang Ditulis di Kening akan Dilihat Mata

Abu Nawas Tetap Bisa Cari Solusi


Mimpi buruk yang dialami Baginda Raja Harun Al Rasyid tadi malam menyebabkan Abu Nawas diusir dari negeri Baghdad. Abu Nawas tidak berdaya. Bagaimana pun ia harus segera menyingkir meninggalkan negeri Baghdad hanya karena mimpi. Masih jelas terngiang-ngiang kata-kata Baginda Raja di telinga Abu Nawas. "Tadi malam aku bermimpi bertemu dengan seorang laki-laki tua. La mengenakan jubah putih. la berkata bahwa negerinya akan ditimpa bencana bila orang yang bernama Abu Nawas masih tetap tinggal di negeri ini. la harus diusir dari negeri ini sebab orang itu membawa kesialan. ia boleh kembali ke negerinya dengan sarat tidak boleh dengan berjalan kaki, berlari, merangkak, melompat-lompat dan menunggang keledai atau binatang tunggangan yang lain." Dengan bekal yang diperkirakan cukup Abu Nawas mulai meninggalkan rumah dan istrinya. Istri Abu Nawas hanya bisa mengiringi kepergian suaminya dengan deraian air mata.

Sudah dua hari penuh Abu Nawas mengendarai keledainya. Bekal yang dibawanya mulai menipis. Abu Nawas tidak terlalu meresapi pengusiran dirinya dengan kesedihan yang terlalu mendalam. Sebaliknya Abu Nawas merasa bertambah yakin bahwa Tuhan Yang Maha Perkasa akan segera menolong keluar dari kesulitan yang sedang melilit pikirannya. Bukankah tiada seorang teman pun yang lebih baik daripada Allah SWT dalam saat-saat seperti itu?


Setelah beberapa hari Abu Nawas berada di negeri orang, ia mulai diserang rasa rindu yang menyayat-nyayat hatinya yang paling dalam. Rasa rindu itu makin lama makin menderu-deru seperti dinginnya jamharir. Sulit untuk dibendung. Memang, tak ada jalan keluar yang lebih baik daripada berpikir. Tetapi dengan akal apakah ia harus melepaskan diri? Begitu tanya Abu Nawas dalam hati. Apakah aku akan meminta bantuan orang lain dengan cara menggendongku dari negeri ini sampai ke istana Baginda? Tidak! Tidak akan ada seorang pun yang sanggup melakukannya. Aku harus bisa menolong diriku sendiri tanpa melibatkan orang lain.

Pada hari kesembilanbelas Abu Nawas menemukan cara lain yang tidak termasuk larangan Baginda Raja Harun Al Rasyid. Setelah segala sesuatunya dipersiapkan, Abu Nawas berangkat menuju ke negerinya sendiri. Perasaan rindu dan senang menggumpal menjadi satu. Kerinduan yang selama ini melecut-lecut semakin menggila karena Abu Nawas tahu sudah semakin dekat dengan kampung halaman.
Mengetahui Abu Nawas bisa pulang kembali, penduduk negeri gembira. Desasdesus tentang kembalinya Abu Nawas segara menyebar secepat bau semerbak bunga yang menyerbu hidung. Kabar kepulangan Abu Nawas juga sampai ke telinga Baginda Harun Al Rasyid. Baginda juga merasa gembira mendengar berita itu tetapi dengan alasan yang sama sekali berbeda. Rakyat gembira melihat Abu Nawas pulang kembali, karena mereka mencintainya. Sedangkan Baginda Raja gembira mendengar Abu Nawas pulang kembali karena beliau merasa yakin kali ini pasti Abu Nawas tidak akan bisa mengelak dari hukuman.

Namun Baginda amat kecewa dan merasa terpukul melihat cara Abu Nawas pulang ke negerinya. Baginda sama sekali tidak pernah membayangkan kalau Abu Nawas ternyata bergelayut di bawah perut keledai. Sehingga Abu Nawas terlepas dari sangsi hukuman yang akan dijatuhkan karena memang tidak bias dikatakan telah melanggar larangan Baginda Raja. Karena Abu Nawas tidak mengendarai keledai.

Read More - Abu Nawas Tetap Bisa Cari Solusi

Kisah Lima Perkara Aneh


Abu Laits as-Samarqandi adalah seorang ahli fiqh yang masyur. Suatu ketika dia pernah berkata, ayahku menceritakan bahawa antara Nabi-nabi yang bukan Rasul ada menerima wahyu dalam bentuk mimpi dan ada yang hanya mendengar suara.

Maka salah seorang Nabi yang menerima wahyu melalui mimpi itu, pada suatu malam bermimpi diperintahkan yang berbunyi, "Esok engkau dikehendaki keluar dari rumah pada waktu pagi menghala ke barat. Engkau dikehendaki berbuat, pertama; apa yang engkau lihat (hadapi) maka makanlah, kedua; engkau sembunyikan, ketiga; engkau terimalah, keempat; jangan engkau putuskan harapan, yang kelima; larilah engkau daripadanya."

Pada keesokan harinya, Nabi itu pun keluar dari rumahnya menuju ke barat dan kebetulan yang pertama dihadapinya ialah sebuah bukit besar berwarna hitam. Nabi itu kebingungan sambil berkata, "Aku diperintahkan memakan pertama aku hadapi, tapi sungguh aneh sesuatu yang mustahil yang tidak dapat dilaksanakan."

Maka Nabi itu terus berjalan menuju ke bukit itu dengan hasrat untuk memakannya. Ketika dia menghampirinya, tiba-tiba bukit itu mengecilkan diri sehingga menjadi sebesar buku roti. Maka Nabi itu pun mengambilnya lalu disuapkan ke mulutnya. Bila ditelan terasa sungguh manis bagaikan madu. Dia pun mengucapkan syukur 'Alhamdulillah'.

Kemudian Nabi itu meneruskan perjalanannya lalu bertemu pula dengan sebuah mangkuk emas. Dia teringat akan arahan mimpinya supaya disembunyikan, lantas Nabi itu pun menggali sebuah lubang lalu ditanamkan mangkuk emas itu, kemudian ditinggalkannya. Tiba-tiba mangkuk emas itu terkeluar semula. Nabi itu pun menanamkannya semula sehingga tiga kali berturut-turut.

Maka berkatalah Nabi itu, "Aku telah melaksanakan perintahmu." Lalu dia pun meneruskan perjalanannya tanpa disedari oleh Nabi itu yang mangkuk emas itu terkeluar semula dari tempat ia ditanam.

Ketika dia sedang berjalan, tiba-tiba dia ternampak seekor burung helang sedang mengejar seekor burung kecil. Kemudian terdengarlah burung kecil itu berkata, "Wahai Nabi Allah, tolonglah aku."

Mendengar rayuan burung itu, hatinya merasa simpati lalu dia pun mengambil burung itu dan dimasukkan ke dalam bajunya. Melihatkan keadaan itu, lantas burung helang itu pun datang menghampiri Nabi itu sambil berkata, "Wahai Nabi Allah, aku sangat lapar dan aku mengejar burung itu sejak pagi tadi. Oleh itu janganlah engkau patahkan harapanku dari rezekiku."

Nabi itu teringatkan pesanan arahan dalam mimpinya yang keempat, iaitu tidak boleh putuskan harapan. Dia menjadi kebingungan untuk menyelesaikan perkara itu. Akhirnya dia membuat keputusan untuk mengambil pedangnya lalu memotong sedikit daging pehanya dan diberikan kepada helang itu. Setelah mendapat daging itu, helang pun terbang dan burung kecil tadi dilepaskan dari dalam bajunya.

Selepas kejadian itu, Nabi meneruskan perjalannya. Tidak lama kemudian dia bertemu dengan satu bangkai yang amat busuk baunya, maka dia pun bergegas lari dari situ kerana tidak tahan menghidu bau yang menyakitkan hidungnya. Setelah menemui kelima-lima peristiwa itu, maka kembalilah Nabi ke rumahnya. Pada malam itu, Nabi pun berdoa. Dalam doanya dia berkata, "Ya Allah, aku telah pun melaksanakan perintah-Mu sebagaimana yang diberitahu di dalam mimpiku, maka jelaskanlah kepadaku erti semuanya ini."

Dalam mimpi beliau telah diberitahu oleh Allah S.W.T. bahawa, "Yang pertama engkau makan itu ialah marah. Pada mulanya nampak besar seperti bukittetapi pada akhirnya jika bersabar dan dapat mengawal serta menahannya, maka marah itu pun akan menjadi lebih manis daripada madu.


Kedua; semua amal kebaikan (budi), walaupun disembunyikan, maka ia tetap akan nampak jua. Ketiga; jika sudah menerima amanah seseorang, maka janganlah kamu khianat kepadanya. Keempat; jika orang meminta kepadamu, maka usahakanlah untuknya demi membantu kepadanya meskipun kau sendiri berhajat. Kelima; bau yang busuk itu ialah ghibah (menceritakan hal seseorang). Maka larilah dari orang-orang yang sedang duduk berkumpul membuat ghibah."

Saudara-saudaraku, kelima-lima kisah ini hendaklah kita semaikan dalam diri kita, sebab kelima-lima perkara ini sentiasa sahaja berlaku dalam kehidupan kita sehari-hari. Perkara yang tidak dapat kita elakkan setiap hari ialah mengata hal orang, memang menjadi tabiat seseorang itu suka mengata hal orang lain. Haruslah kita ingat bahawa kata-mengata hal seseorang itu akan menghilangkan pahala kita, sebab ada sebuah hadis mengatakan di akhirat nanti ada seorang hamba Allah akan terkejut melihat pahala yang tidak pernah dikerjakannya. Lalu dia bertanya, "Wahai Allah, sesungguhnya pahala yang Kamu berikan ini tidak pernah aku kerjakan di dunia dulu."

Maka berkata Allah S.W.T., "Ini adalah pahala orang yang mengata-ngata tentang dirimu." Dengan ini haruslah kita sedar bahawa walaupun apa yang kita kata itu memang benar, tetapi kata-mengata itu akan merugikan diri kita sendiri. Oleh kerana itu, hendaklah kita jangan mengata hal orang walaupun ia benar.

Read More - Kisah Lima Perkara Aneh

Saturday, 16 July 2011

Ikan Merah Kecil dan Kasut Emas


From: Irak

Di negeri antah-berantah hiduplah seorang nelayan. Istrinya mati tenggelam di sungai besar dan meninggalkan seorang gadis kecil yang cantik berumur kurang dari dua tahun. Di sebuah rumah di dekat situ tinggallah seorang janda bersama putrinya. Kedua perempuan itu mulai sering datang ke rumah nelayan untuk merawat si gadis kecil dan menyisir rambutnya, dan setiap kali sang janda berkata kepada gadis kecil itu, “Tidakkah aku bersikap layaknya seorang ibu kepadamu?” Dia berusaha menyenangkan hati nelayan, tapi nelayan selalu berkata, “Aku tidak akan menikah lagi. ibu tiri biasanya membenci anak-anak suami mereka meskipun ibu anak-anak itu telah meninggal dan dikubur.

Ketika putrinya sudah cukup besar dan jatuh kasihan kepada ayahnya setiap kali dia melihat sang ayah mencuci pakaiannya sendiri, dan berkata, “Mengapa engkau tidak menihaki tetangga kita, Ayah? Dia tidak jahat, dan dia menyayangiku seperti menyayangi putrinya sendiri.

Pepatah mengatakan, tetesan air akan melubangi sebuah batu. Akhirnya nelayan menikahi janda itu, dan dia pindah ke rumahnya. Perkawinan belum lewat seminggu ketika jelas sudah bahwa janda itu merasa cemburu pada putri suaminya. Dia menyadari betapa sang ayah sangat menyayangi putrinya dan memanjakannya. Dan dia pun menyadari bahwa anak itu cantik, dan cerdas, sementara anaknya sendiri kurus dan bodoh, dan begitu canggung sehingga dia tidak tahu bagaimana caranya menjahit keliman bajunya sendiri.


Tidak lama setelah perempuan itu merasa yakin dirinya menjadi nyonya rumah, dia mulai menyerahkan seluruh tugas rumah tangga untuk dikerjakan putri tirinya. Dan tidak mau memberikan sabun kepada gadis itu untuk mencuci rambut dan kakinya, dan dia tidak menyediakan makanan untuknya kecuali makanan sisa dan remah-remah. Semua ini dijalani si gadis dengan penuh kesabaran, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Sebab dia tidak ingin membuat ayahnya sedih, dan dia berpikir, “Aku mengambil kalajengking itu dengan tanganku sendiri; aku akan menyelamatkan diriku dengan usahaku sendiri.

Di samping tugas-tugas lainnya, putri nelayan harus pergi ke sungai setiap hari untuk membawa pulang hasil tangkapan ayahnya, ikan yang mereka makan dan yang mereka jual. Suatu hari dari bawah sebuah keranjang yang berisi tiga ekor ikan lele, tiba-tiba seekor ikan merah kecil berbicara kepadanya:

Anak dengan kesabaran begitu besar,
Aku mohon padamu, selamatkan nyawaku.
Ke dalam air tolong aku engkau lempar,
Dan kini dan selanjutnya jadilah anakku.

Gadis itu berhenti untuk mendengarkan, setengah heran setengah takut. Lalu sambil mundur dia melemparkan ikan tersebut ke dalam air sungai dan berkata, “Pergilah! Pepatah mengatakan, ‘Berbuat baiklah, bahkan jika itu seperti membuang emas ke laut, di mata Allah tidak diabaikan.’” Mengangkat mukanya ke atas air, ikan kecil berkata:

Kebaikanmu tidaklah sia-sia
Seorang ibu baru engkau temukan.
Datanglah padaku jika engkau berduka,
Dan aku akan membantumu meraih kegembiraan.

Gadis itu melangkah kembali ke rumah dan menyerahkan tidak ekor ikan lele kepada ibu tirinya. Ketika nelayan menanyakan ikan keempat, si gadis berkata, “Ayah, ikan merah itu jatuh dari keranjangku. Ia mungkin masuk ke sungai, sebab aku tidak bisa menemukannya lagi.
Tidak apa-apa,” kata nelayan, “itu Cuma ikan kecil.” Tapi ibu tirinya mulai mencela. “Kamu tidak pernah memberi tahu aku ada empat ekor ikan. Kamu tidak mengatakan yang satu hilang. Pergi sekarang dan carilah, sebelum aku mengutukimu.

Saat itu sudah lewat petang hari dan si gadis harus berjalan kembali ke sungai dalam kegelapan. Dengan mata bengkak karena penuh air mata, dia berdiri di tepi sungai dan berseru,

Ikan merah, ibu dan pengasuhku,
Datanglah cepat, lepaskan kutukanku.

Dan muncullah di dekat kakinya ikan merah kecil itu, menenangkan hatinya dan berkata, “Meski kesabaran itu pahit, buahnya sangat manis. Kini membungkuklah dan ambil kepingan emas dari mulutku. Berikan pada ibu tirimu, dan dia tidak akan mengata-ngataimu lagi.” Tepat seperti itulah yang terjadi.

Tahun berganti tahun, dan di rumah nelayan kehidupan berlangsung seperti sebelumnya. Tidak ada yang berubah kecuali bahwa kedua gadis kecil itu kini menjadi gadis remaja.

Suatu hari, seorang tokoh terkenal, pedagang paling terkemuka, mengumumkan bahwa putrinya akan menikah. Sudah menjadi adat bahwa para perempuan berkumpul di rumah mempelai perempuan pada “hari inai mempelai” untuk membuat perayaan dan bernyanyi saat mereka menyaksikan kaki, telapak tangan, dan lengan gadis itu dihiasi dengan inai merah untuk menyambut saat pernikahan. Lalu setiap ibu membawa putri-putri mereka yang belum menikah agar dilihat calon-calon ibu mertua. Nasib kebanyakan gadis ditentukan pada hari seperti itu.

Istri nelayan menggosok dan membersihkan tubuh putrinya dan memberinya gaun paling indah yang dimilikinya dan bergegas membawanya ke rumah pemimpin para pedagang bersama yang lain. Putri nelayan ditinggalkan di rumah dengan tugas mengisi kendi air dan menyapu lantai sementara mereka pergi.

Begitu kedua perempuan itu hilang dari pandangan, putri nelayan mengangkat roknya dan lari menuju sungai untuk memberitahukan kesedihannya pada ikan merah kecil. “Kamu akan pergi ke pesta inai mempelai itu dan duduk di atas bantal di tengah bangsal,” kata ikan merah kecil. Dia memberi gadis itu sebuah bungkusan kecil dan berkata, “Inilah segala sesuatu yang perlu kamu kenakan, dengan sisir mutiara untuk rambutmu dan kasut emas untuk kakimu. Tapi satu hal harus kamu ingat: pastikan kamu sudah pergi sebelum ibu tirimu berpamitan.

Ketika gadis itu melepaskan kain yang diikatkan pada pakaian itu, jatuhlah selembar gaun sutra berwarna hijau bagai daun semanggi. Gaun itu disulam dengan benang dan perhiasan dari emas, dan dari lipatannya tercium bau harum seperti bunga mawar. Dengan cepat gadis itu mandi dan berdandan dan memasang sisir mutiara itu pada rambutnya dan menyusupkan kakinya pada kasut emas dan pergi bergegas ke tempat pesta.

Para perempuan dari setiap rumah di kota itu berada di sana. Mereka berhenti berbicara untuk mengagumi kecantikan dan keanggunannya, dan mereka berpikir, “Ini pastilah putri gubernur!” Mereka membawakan untuknya sari buah dan kue yang terbuat dari buah badam dan madu serta mereka mendudukkannya di tempat kehormatan di tengah-tengah mereka semua. Dia mencari ibu tiri dan anaknya dan melihat mereka jauh di sana, di dekat pintu bersama para petani dan istri-istri para pemintal dan pedagang keliling.

Ibu tirinya menatapnya dan berkata pada dirinya sendiri, “Ya Allah, tumpuan puja-puji kami, betapa miripnya perempuan ini dengan putri suamiku! Tapi bukankah pepatah mengatakan, ‘Setiap tujuh orang dibuat dari satu gumpalan tanah?’” Dan sang ibu tiri tidak tahu bahwa gadis itu tidak lain putri suaminya sendiri!

Untuk tidak memperpanjang cerita, sebelum semua perempuan itu berdiri, putri nelayan pergi menemui ibu mempelai dan berkata, “Semoga rahmat dan karunia Allah menyertaimu, ya bibiku!” lalu bergegas keluar. Matahari telah tenggelam dan kegelapan datang. Dalam perjalanannya, gadis itu harus melewati sebuah jembatan di atas sungai yang mengalir menuju taman raja. Dan karenatakdir dan ketentuan Ilahi, kebetulan ketika dia berlari melewati jembatan itu, kasut emasnya lepas dari kakinya dan jatuh ke dalam sungai di bawahnya. Terlalu jauh untuk turun ke sungai dan mencari di dalam gelap; bagaimana jika ibu tirinya sudah tiba di rumah sebelum dia pulang? Maka gadis itu melepas kasutnya yang satu lagi, dan sambil mengangkat gaunnya tinggi-tinggi, dia melesat pulang ke rumahnya.

Ketika tiba di rumah dia melipat pakaiannya yang indah dan menggulung sisir mutiara serta kasut emasnya di dalamnya, dan menyembunyikannya di bawah tumpukan kayu. Dia melumuri kepala dan tangan serta kakinya dengan tanah untuk membuatnya tampak kotor, dan dia tengah berdiri menyapi ketika ibu tirinya menemuinya. Istri nelayan itu memandang wajahnya dan memperhatikan tangan serta kakinya dan berkata, “Masih menyapu setelah matahari tenggelam? Atau apakah kamu ingin menyapu nyawa kami semua?

Bagaimana dengan kasut emas itu? Nah, arus sungai membawanya ke dalam taman raja dan mendorongnya serta mendorongnya terus hingga masuk ke dalam kolam tempat putra raja menuntun kudanya minum. Keesokan harinya, pangeran memberi air pada kudanya. Dia memperhatikan bahwa setiap kali kuda itu menurunkan kepalanya untuk minum, sesuatu membuatnya malu dan melangkah mundur. Ada apa di bawah kolam itu yang telah membuat takut kudanya? Dia memanggil pengurus kandang, dan dari balik lumpur, orang itu mengambil kasut emas yang bercahaya dan menunjukkannya kepada pangeran.

Ketika pangeran memegang benda kecil yang itu itu, dia mulai membayangkan kaki kecil yang indah yang memakainya. Dia berjalan kembali ke dalam istana dengan jantung berdebar dan pikiran penuh khayalan tentang gadis yang memiliki alas kaki yang begini berharga. Ratu melihatnya tenggelam dalam angan-angan dan berkata, “Semoga Allah menurunkan kabar baik pada kital mengapa melamun begitu asyik, putraku?
Yammah, wahai Ibu, aku ingin engkau mencarikan seorang istri untukku!” Kata pangeran.
Memikirkan satu istri saja sampai jadi begini?” kata ratu. “Aku akan mencarikanmu seribu orang jika kamu ingin! Aku akan mendatangkan setiap gadis di kerajaan ini untuk menjadi istrimu jika kamu mau! Tapi katakan padaku, putraku, siapakah gadis yang telah membuatmu kehilangan akal?
Aku ingin mengawini gadis yang memiliki kasut ini,” sahut pangeran, dan dia menceritakan kepada ibunya bagaimana dia menemukan benda itu.
Kamu akan mendapatkannya, putraku,” kata ratu. “Aku akan memulai pencarianku besok begitu matahari terbit, dan aku tidak akan berhenti sampai aku menemukannya.

Keesokan harinya, ibu pangeran mulai bekerja, masuk ke satu rumah dan keluar dari rumah lainnya dengan kasut emas terkepit di lengannya. Setiap kali melihat seorang gadis remaja, dia mencobakan kasut itu pada telapak kakinya. Sementara itu, pangeran duduk di gerbang istana, menantinya kembali. “Bagaimana kabarnya, Ibu?” tanyanya. Dan sang ibu menjawab, “Belum ketemu, putraku. Sabarlah, nak, tempelkan salju ke dadamu dan kendalikan hasratmu. Aku akan terus mencarinya.

Pencarian itu pun terus berlanjut. Memasuki satu gerbang dan meninggalkan gerbang lainnya, ratu mengunjungi rumah-rumah para bangsawan dan para saudagar serta para pandai emas. Dia menemui putri-putri para pengrajin dan para pedagang. Dia memasuki gubuk para pengangkut air dan tukang pintal, dan berhenti pada setiap rumah hingga tinggal pondok nelayan di tepai sungai itu yang belum didatangi. Setiap malam ketika pangeran menanyakan kabar, dia berkata, “Aku akan menemukannya, aku akan menemukannya.

Ketika keluarga nelayan itu diberi tahu bahwa ratu akan datang untuk mengunjungi rumah mereka, istri nelayan yang penuh muslihat itu jadi sibuk, dia memandikan putrinya dan memakaikan gaunnya yang paling baik, dia mencuci rambutnya dengan inai dan menghiasi matanya dengan kohl dan menggosok-gosok pipinya sampai berkilau merah. Tapi tetap saja ketika gadis itu berdiri di samping putri nelayan, dia tampak seperti lilin di samping matahari. Meskipun anak tiri itu diperlakukan dengan demikian buruk dan sering kelaparan, dengan kehendak Allah dan dengan bantuan ikan merah kecil, kecantikannya semakin bertambah dari hari ke hari.

Kini ibu tirinya menyeretnya keluar rumah dan ke halaman. Dia mendorongnya ke dalam pemanggang dan menutup pintunya dengan kaki lempung bulat yang biasa digunakan untuk meratakan adonan. Ini diberinya pemberat dengan batu gerinda. “Jangan berani-berani bergerak sampai aku mendatangimu!” kata ibu tiri. Apa yang dapat dilakukan gadis malang itu kecuali meringkuk di atas abu dan memercayakan nasibnya kepada Allah?

Ketika ratu tiba, ibu tiri mendorong putrinya ke depan, sambil berkata, “Ciumlah tangan ibu pangeran, anak bodoh!” Seperti yang telah dilakukannya di rumah-rumah lain, ratu menyuruh gadis itu duduk di sampingnya dan memegang kakinya dan menyusupkannya ke dalam kasut emas. Tepat pada saat itu ayam jantan tetangga terbang ke halaman dan mulai berkokok,

Ki-ki-ki-kow!
Ketahuilah istri raja,
Mereka memamerkan gadis buruk rupa,
Dan menyembunyikan si jelita.
Ki-ki-ki-kow!

Dia mulai lagi dengan jeritannya yang memekakkan telinga, dan ibu tiri berlari keluar dan mengayunkan tangannya untuk mengejarnya. Tapi ratu telah mendengar kata-katanya, dan dia menyuruh pelayan-pelayannya untuk mencari ke sana-kemari. Ketika mereka mendorong ke samping penutup pemanggang, mereka menemukan gadis itu—cantik bagaikan bulan di tengah kepulan abu. Mereka membawanya menghadap ratu, dan kasut emas itu pas di kakinya seakan-akan ia dibuat menurut ukuran kakinya.

Ratu merasa puas. Dia berkata, “Sejak saat ini putrimu kujodohkan dengan putraku. Bersiap-siaplah untuk menyambut perkawinannya. Insya Allah, iring-iringan akan datang pada hari Jumat.” Dan dia memberikan kepada ibu tiri itu sekantung penuh uang emas.

Ketika perempuan itu sadar bahwa rencananya gagal, bahwa putri suaminya akan menikah dengan pangeran sementara anknya sendiri tetap tinggal di rumah, hatinya dipenuhi kemarahan dan dendam. “Aku akan berusaha agar dia dikembalikan ke rumah ini sebelum malam berlalu.

Dia mengambil kantung berisi emas itu, lari ke pasar wewangian, dan minta obat pencahar yang begitu kuat hingga dapat membuat isi perut hancur-lebur. Melihat emas, penjual mulai mencapur bubuk obat itu di atas bakinya. Lalu dia minta arsenik dan kapur, yang dapat melemahkan rambut dan membuatnya rontok, serta balsem yang baunya seperti daging bangkai.

Nah, ibu tiri mempersiapkan mempelai menyambut hari perkawinannya. Dia mencuci rambutnya dengan inai dicampur arsenik dan kapur, serta menggosokkan balsem bau itu pada rambutnya. Lalu dia memegang telinga gadis itu dan mengucurkan obat pencahar ke dalam kerongkongannya. Tidak lama kemudian iring-iringan pengantin tiba, dengan kuda-kuda dan genderang, pakaian-pakaian indah berwarna cerah, dan suara-suara riang. Mereka menaikkan mempelai perempuan ke atas tandu dan membawanya pergi.

Dia memasuki istana didahului suara musik dan diikuti nyanyian serta puja-puji dan tepukan tangan. Dia memasuki kamar pengantin, pangeran membuka kerudung wajahnya, dan dia bersinar bagaikan bulan tanggal empat belas. Wangi amber dan bunga mawar membuat pangeran menekankan wajahnya ke rambut istrinya. Dia menyisir rambut itu dengan jari-jarinya, dan rasanya seperti bermain dengan kain emas. Kini gadis itu mulai merasa perutnya berat, tapi dari bawah gaunnya jatuhlah kepingan-kepingan emas dalam jumlah ribuan hingga permadani dan bantal-bantal tertutup emas.

Sementara itu, ibu tiri menanti di depan pintu, sambil berkata, “Kini mereka akan mengembalikan gadis itu dengan membawa aib, dia akan tiba di rumah dalam keadaan kotor dan botak,” Tapi meskipun dia berdiri di depan pintu sampai pagi, tak seorang pun datang dari istana raja.

Berita mengenai istri cantik sang pangeran mulai tersebar di kota, dan putra pedagang berkata kepada ibunya. “Mereka berkata bahwa istri pangeran punya saudara perempuan. Aku ingin dia menjadi istriku.” Ketika pergi ke gubuk nelayan, ibu pemuda itu memberikan sekantung penuh uang emas kepada istri nelayan dan berakat, “Persiapkan putrimu, sebab kami akan datang untuk menjemputnya pada hari Jumat, insya Allah.

Istri nelayan berkata pada dirinya sendiri, “Jika apa yang kulakukan pada putri suamiku dapat mengubah rambutnya menjadi benang emas dan perutnya menjadi penuh uang, tidakkah akan kulakukan hal yang sama pada anakku sendiri?” Dia bergegas mendatangi penjual wewangian dan minta bubuk dan obat-obatan yang sama, tapi lebih keras dari yang sebelumnya. Lalu dia mempersiapkan anaknya, dan iring-iringan pengantin tiba. Ketika putra pedagang membuka kerudung wajah mempelainya, rasanya seperti mengangkat penutup peti jenazah. Bau busuk mengengat begitu kuat sehingga pemuda itu tercekik, dan rambut gadis itu rontok di tangannya. Maka mereka membungkus mempelai yang malang itu dengan kotorannya snediri dan membawanya kembali ke rumah ibunya.

Sedangkan sang pangeran hidup bersama putri nelayan dalam kebahagiaan dan kegembiraan, dan Allah menganugerahkan tujuh anak laksana tujuh burung emas.

Mulberry, mulberry,
Maka berakhirlah kisahku ini.
Jika rumahku tidak begitu jauh jaraknya,
Aku akan membawakanmu kismis dan buah ara.

Read More - Ikan Merah Kecil dan Kasut Emas

Kisah Sebatang Pohon Apel


Suatu masa dahulu, terdapat sebatang pohon apel yangamat besar. Seorang kanak-kanak lelaki begitu gemarbermain-main di sekitar pohon apel ini setiap hari.Dia memanjat pohon tersebut, memetik serta memakanapel sepuas-puas hatinya, dan adakalanya diaberistirahat lalu terlelap di perdu pohon apeltersebut. Anak lelaki tersebut begitu menyayangitempat permainannya. Pohon apel itu juga menyukai anaktersebut.

Masa berlalu... anak lelaki itu sudah besar danmenjadi seorang remaja. Dia tidak lagi menghabiskanmasanya setiap hari bermain di sekitar pohon apeltersebut. Namun begitu, suatu hari dia datang kepadapohon apel tersebut dengan wajah yang sedih. "Marilah bermain-mainlah di sekitarku," ajak pohonapel itu. "Aku bukan lagi kanak-kanak, aku tidak lagi gemarbermain dengan engkau," jawab remaja itu. "Aku mahukan permainan. Aku perlukan wang untukmembelinya," tambah remaja itu dengan nada yang sedih.Lalu pohon apel itu berkata, "

"Kalau begitu, petiklah apel-apel yang ada padaku. Juallah untuk mendapatkan uang. Dengan itu, kau dapat membeli permainan yang kauinginkan."

Remaja itu dengan gembiranya memetik semua apel dipohon itu dan pergi dari situ. Dia tidak kembali lagiselepas itu. Pohon apel itu merasa sedih. Masa berlalu...Suatu hari, remaja itu kembali. Dia semakin dewasa.

Pohon apel itu merasa gembira. "Marilah bermain-mainlah di sekitarku," ajak pohon apel itu. "Aku tiada waktu untuk bermain. Aku terpaksa bekerja untuk mendapatkan uang. Aku ingin membina rumah sebagai tempat perlindungan untuk keluargaku. Bolehkah kau menolongku?" Tanya anak itu."

"Maafkan aku. Aku tidak mempunyai rumah. Tetapi kau boleh memotong dahan-dahanku yang besar ini dan kau buatlah rumah daripadanya." Pohon apel itu memberikan cadangan. Lalu, remaja yang semakin dewasa itu memotong kesemua dahan pohon apel itu dan pergi dengan gembiranya. Pohon apel itu pun turut gembira tetapi kemudiannya merasa sedih karena remaja itu tidak kembali lagi selepas itu.

Suatu hari yang panas, seorang lelaki datang menemui pohon apel itu. Dia sebenarnya adalah anak lelaki yang pernah bermain-main dengan pohon apel itu. Dia telah matang dan dewasa. "Marilah bermain-mainlah di sekitarku," ajak pohon apel itu. "Maafkan aku, tetapi aku bukan lagi anak lelaki yang suka bermain-main di sekitarmu. Aku sudah dewasa. Aku mempunyai cita-cita untuk belayar. Malangnya, aku tidak mempunyai kapal. Bolehkah kau menolongku?" tanya lelaki itu."

"Aku tidak mempunyai kapal untuk diberikan kepada kau. Tetapi kau boleh memotong batang pohon ini untuk dijadikan kapal. Kau akan dapat belayar dengan gembira," kata pohon apel itu. Lelaki itu merasa amat gembira dan menebang batang pohon apel itu. Dia kemudiannya pergi dari situ dengan gembiranya dan tidak kembali lagi selepas itu. Namun begitu, pada suatu hari, seorang lelaki yang semakin dimamah usia, datang menuju pohon apel itu. Dia adalah anak lelaki yang pernah bermain di sekitar pohon apel itu."

"Maafkan aku. Aku tidak ada apa-apa lagi untuk diberikan kepada kau. Aku sudah memberikan buahku untuk kau jual, dahanku untuk kau buat rumah, batangku untuk kau buat kapal. Aku hanya ada tunggul dengan akar yang hampir mati..." kata pohon apel itu dengan nada pilu."
"Aku tidak mahu apelmu karena aku sudah tiada bergigi untuk memakannya, aku tidak mahu dahanmu kerana aku sudah tua untuk memotongnya, aku tidak mahu batang pohonmu karena aku berupaya untuk belayar lagi, aku merasa lelah dan ingin istirahat," jawab lelaki tua itu.


"Jika begitu, istirahatlah di perduku," kata pohon apel itu. Lalu lelaki tua itu duduk beristirahat di perdu pohon apel itu dan beristirahat. Mereka berdua menangis kegembiraan.

Tersebut. Sebenarnya, pohon apel yang dimaksudkan didalam cerita itu adalah kedua-dua ibu bapa kita. Bila kita masih muda, kita suka bermain dengan mereka. Ketika kita meningkat remaja, kita perlukan bantuan mereka untuk meneruskan hidup. Kita tinggalkan mereka, dan hanya kembali meminta pertolongan apabila kita didalam kesusahan. Namun begitu, mereka tetap menolong kita dan melakukan apa saja asalkan kita bahagia dan gembira dalam hidup. Anda mungkin terfikir bahwa anak lelaki itu bersikap kejam terhadap pohon apel itu, tetapi fikirkanlah, itu hakikatnya bagaimana kebanyakan anak-anak masa kini melayan ibu bapa mereka. Hargailah jasa ibu bapa kepada kita. Jangan hanya kita menghargai mereka semasa menyambut hari ibu dan hari bapa setiap tahun.

Read More - Kisah Sebatang Pohon Apel

Keyakinan dan Prasangka Baik


Seorang murid mendambakan syeikh yang akan menyampaikannya kepada Allah. Meski sudah berusaha keras, ia tak berhasil menemukan syeikh yang diidamkan.

Suatu hari ada yang berkata kepadanya bahwa ia tidak akan menemukan seorang syeikh yang dapat menyampaikannya kepada Allah kecuali Fulan bin Fulan yang tinggal disuatu kota. Ia pun segera berangkat ke kota itu. Setelah sampai di sana, ia menanyakan tentang orang yang dimaksud. Penghuni kota menun- jukkan kepadanya seorang lelaki yang berperangai buruk dan suka bermaksiat. Ia mendatangi rumah orang itu dan mengetuk pintunya.

"Siapa?" tanya pemilik rumah.
"Fulan," jawabnya.

Pemilik rumah sedang menunggu orang yang kebetulan namanya sama dengan nama si murid. Ia telah berjanji kepadanya untuk bersenang-senang dengan wanita dan minuman memabukkan. Ia lalu membukakan pintu karena mengira bahwa tamu itu adalah temannya.

Si murid masuk ke dalam rumah. Ketika menatap wajah pemilik rumah, ia lalu duduk bersimpuh dan menangis. Pertemuan dengan sang calon syeikh ini begitu mengharukannya sehingga ia tidak melihat wanita-wanita dan minuman keras yang ada di situ.

"Apa yang terjadi denganmu?" tanya pemilik rumah keheranan.
"Aku ingin agar kamu menyampaikan aku kepada Allah. Aku telah berusaha mencari guru, tetapi tidak menemukan selain kamu," kata si murid dengan suara sendu.

Karena ingin segera terbebas dari orang yang tampak aneh ini, lelaki itu berkata sekenanya, "Pergilah ke tempat A, di bawah gunung B. Di sana akan kamu temukan air. Berwudhulah dengan air itu kemudian beribadahlah di situ sampai Allah memberimu fath."

Si murid segera keluar melaksanakan perintah syeikhnya. Ia beribadah dengan sungguh-sungguh sampai akhirnya Allah memberinya fath. Setelah menerima fath dari Allah, ia akhirnya tahu bahwa orang yang selama ini dianggap sebagai syeikhnya ternyata adalah manusia yang berperangai buruk dan suka bermaksiat kepada Allah.

Si murid kemudian mulai dikenal orang. Kesalehannya menjadi buah bibir masyarakat. Manusia mulai berdatangan, ada yang ingin menuntut ilmu, ada juga yang sekedar ingin memperoleh keberkahan. Bertambah hari muridnya bertambah banyak. Suatu hari ia jatuh sakit. Ketika penyakitnya menjadi semakin parah, para muridnya bertanya, "Guru, siapa yang akan kamu angkat untuk mengantikan kedudukanmu jika kamu wafat."
"Fulan bin Fulan yang suka bermaksiat. Karena itu, bertawajuhlah kalian kepada Allah, berdoalah, agar sebelum aku meninggal dunia, Allah telah merubah keadaannya menjadi yang terbaik, dan memberinya petunjuk, karena sesungguhnya aku tidak akan mencapai kedudukan ini kalau bukan karena dia. Bertawajuhlah kepada Allah!"


Allah mengabulkan doa mereka. Lelaki itu bertobat dan menjadi murid dari mantan muridnya.
Ia berusaha sungguh-sungguh untuk mendekatkan diri kepada Allah di bawah bimbingan gurunya. Sepeninggal sang guru, ia dipercaya untuk menggantikan kedudukannya.

Barangsiapa bertobat, Allah akan menerima tobatnya. Karena lelaki tadi mendekatkan diri kepada Allah dengan sidq (kesungguhan), ia mencapai kedudukan yang tinggi. Barang siapa menghadap Allah dengan sidq, ia akan mencapai apa yang telah dicapai oleh orang-orang yang sempurna. (I:136)

---------------------------------
Habib Muhammad bin Hadi bin Hasan bin Abdurrahman Asseqaf, Tuhfatul
Asyraf, Kisah dan Hikmah

Read More - Keyakinan dan Prasangka Baik

Friday, 15 July 2011

Sangkuriang dan Tangkuban Perahu


Cerita Rakyat Dari Sunda

Pada zaman dahulu, tersebutlah kisah seorang puteri raja di Jawa Barat bernama Dayang Sumbi. Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang diberi nama Sangkuriang. Anak tersebut sangat gemar berburu Ia berburu dengan ditemani oleh Tumang, anjing kesayangan istana. Sangkuriang tidak tahu, bahwa anjing itu adalah titisan dewa dan juga bapaknya.

Pada suatu hari Tumang tidak mau mengikuti perintahnya untuk mengejar hewan buruan. Maka anjing tersebut diusirnya ke dalam hutan. Ketika kembali ke istana, Sangkuriang menceritakan kejadian itu pada ibunya. Bukan main marahnya Dayang Sumbi begitu mendengar cerita itu. Tanpa sengaja ia memukul kepala Sangkuriang dengan sendok nasi yang dipegangnya. Sangkuriang terluka. Ia sangat kecewa dan pergi mengembara.

Setelah kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali dirinya. Ia selalu berdoa dan sangat tekun bertapa. Pada suatu ketika, para dewa memberinya sebuah hadiah. Ia akan selamanya muda dan memiliki kecantikan abadi. Setelah bertahun-tahun mengembara, Sangkuriang akhirnya berniat untuk kembali ke tanah airnya. Sesampainya disana, kerajaan itu sudah berubah total. Di sana dijumpainya seorang gadis jelita, yang tak lain adalah Dayang Sumbi. Terpesona oleh kecantikan wanita tersebut maka, Sangkuriang melamarnya. Oleh karena pemuda itu sangat tampan, Dayang Sumbi pun sangat terpesona padanya.


Pada suatu hari Sangkuriang minta pamit untuk berburu. Ia minta tolong Dayang Sumbi untuk merapikan ikat kepalanya. Alangkah terkejutnya Dayang Sumbi ketika melihat bekas luka di kepala calon suaminya. Luka itu persis seperti luka anaknya yang telah pergi merantau. Setelah lama diperhatikannya, ternyata wajah pemuda itu sangat mirip dengan wajah anaknya. Ia menjadi sangat ketakutan. Maka kemudian ia mencari daya upaya untuk menggagalkan proses peminangan itu. Ia mengajukan dua buah syarat. Pertama, ia meminta pemuda itu untuk membendung sungai Citarum. Dan kedua, ia minta Sangkuriang untuk membuat sebuah sampan besar untuk menyeberang sungai itu. Kedua syarat itu harus sudah dipenuhi sebelum fajar menyingsing.

Malam itu Sangkuriang melakukan tapa. Dengan kesaktiannya ia mengerahkan makhluk-makhluk gaib untuk membantu menyelesaikan pekerjaan itu. Dayang Sumbi pun diam-diam mengintip pekerjaan tersebut. Begitu pekerjaan itu hampir selesai, Dayang Sumbi memerintahkan pasukannya untuk menggelar kain sutra merah di sebelah timur kota. Ketika menyaksikan warna memerah di timur kota, Sangkuriang mengira hari sudah menjelang pagi. Ia pun menghentikan pekerjaannya. Ia sangat marah oleh karena itu berarti ia tidak dapat memenuhi syarat yang diminta Dayang Sumbi.

Dengan kekuatannya, ia menjebol bendungan yang dibuatnya. Terjadilah banjir besar melanda seluruh kota. Ia pun kemudian menendang sampan besar yang dibuatnya. Sampan itu melayang dan jatuh menjadi sebuah gunung yang bernama “Tangkuban Perahu.”

Read More - Sangkuriang dan Tangkuban Perahu

Thursday, 14 July 2011

Lengan Baju Djuha


From: Suriah

Suatu hari Djuha datang ke sebuah jamuan dengan pakaian rombengnya yang biasa, dan dia pun diusir di depan pintu. Kemudian dia berdandan dengan setelannya yang paling mahal, memasangi bagalnya pelana, dan kembali ke rumah tersebut dengan penampilan layaknya seorang tokoh penting. Kali ini si pelayan menyambutnya penuh takzim dan mendudukkannya di samping para tamu kehormatan. Ketika Djuha hendak mengambil sepotong daging panggang, kebetulan lengan bajunya jatuh menimpa makanan itu.


Tarik kembali lengan bajumu,” bisik pria di sampingnya.
Tidak,” sahut Djuha. “Aku tidak mau melakukannya!

Kemudian, kepada lengan bajunya, dia berkata, “Makanlah, lengan bajuku, makanlah sampai kamu kenyang! Kamu lebih berhak atas makanan ini daripada aku. Di rumah ini mereka lebih menghormati kamu daripada aku.

Read More - Lengan Baju Djuha

Mampu Taklukkan Harimau dengan Kesabaran


Alkisah, ada dua orang lelaki yang berkawan akrab. Nama mereka masing-masing, katakan saja adalah Sulaiman dan Ismail. Mereka sama-sama orang yang shaleh. Karena tempat yang berjauhan maka tidak memungknkan mereka untuk selalu bertemu. Tetapi ada kebiasaan diantara mereka, untuk bertemu sekali dalam setahun. Sulaiman yang jauh tempatnya selalu datang bertemu kerumah Ismail.

Sebagaimana kebiasaan, suatu hari Sulaiman datang berkunjung kerumah sahabatnya itu. Waktu sampai ia mendapati pintu rumah Ismail sedang tertutup rapat-rapat. Ia kemudian mengetuk pintu itu. Setelah beberapa kali ketukan, terdengar ada suara sahutan istri sahabatnya dari dalam rumah. "Siapakah itu yang mengetuk-ngetuk pintu?"
"Aku, saudara suamimu. Aku datang kemari untuk mengunjunginya hanya karena Allah SWT semata."
"Oh.. Dia sedang keluar pergi mencari kayu bakar. Mudah-mudahan saja ia tidak kembali lagi!"

Begitu jawab istri tuan rumah. Mendengar jawaban seperti itu heran bercampur dongkol meliputi diri Sulaiman. Belum hilang herannya, ia masih lebih kaget lagi. Si istri tersebut masih menggumamkan kata-kata makian kepada Ismail, sang suami.

Sulaiman dipersilahkan duduk diberanda dan kemudian mereka bercakap-cakap. Tak lama kemudian datang Ismail. Ia terlihat menuntun seekor harimau yang dipunggungnya terdapat seikat kayu bakar. Begitu, melihat ada sahabatnya, Ismail langsung menghambur mendekatinya sambil mengucapkan slam kehangatan.

Kayu bakar kemudian diturunkan dari punggung harimau. Ismail sejurus kemudian berkata kepada harimau itu. "Sekarang pergilah kamu mudah-mudahan Allah SWT memberkatimu!".

Setelahnya siempunya rumah mempersilahkan tamunya masuk kedalam rumah. Sementara mereka bercakap-cakap terdengar suara sang istri yang terus-terusan saja memaki-maki sang suami dengan suara bergumam. Sang suami yang orang shaleh itu diam saja. Dalam hatinya Sulaiman heran yang bercampur takjub akan kesabaran sahabatnya. Meskipun istrinya terus saja memaki-maki dirinya ia tetap tidak memperlihatkan muka kebencian. Setelah puas bercakap-cakap pulanglah sahabat dengan menyimpan rasa kekaguman kepada siempunya rumah yang sangggup menekan rasa marahnya menghadapi istrinya yang begitu cerewet dan berlidah panjang. Setahun berlalu sudah. Sebagaimana kebiasaan, kembali Sulaiman mengunjungi rumah sahabatnya itu. Waktu sampai didepan pintu dan ia mengetuk pintu itu. Dari dalam terdengar langkah-langkah kaki wanita dan setelah pintu terbuka, maka terlihat wajah istri sahabatnya yang dengan senyum ramah menyapa.
"Tuan ini siapa, ya?"
"Aku adalah sahabat suamimu. Kedatanganku ini adalah semata untuk mengunjunginya."
"Oh... Selamat datang Tuan!"



Sapaan istri sahabatnya begitu ramah sambil mempersilahkan sang tamu untuk masuk kedalam rumah dengan penuh keramahan. Terasa begitu teduh dihati. Tak lama kemudian sahabatnya Ismail datang. Ia kelihatan menenteng seikat besar kayu bakar diatas kepalanya. Segera mereka terlibat perbincangan serius. Sempat sang tamu menanyakan beberapa hal yang ia herankan perihal keadaan tuan rumah yang menurutnya ada perbedaan dengan suasana setahun yang lalu. Tamu menanyakan bagaimana ia mampu menaklukan seekor harimau, yang binatang buas itu sehingga mau memanggul kayu bakarnya. Mengapa ia sekarang tidak bersama-sama dengan binatang itu. Mana harimau itu?

"Ketahuilah, saudaraku. Istriku yang dahulu berlidah panjang itu sudah meninggal. Sedapat mungkin aku berusaha bersabar atas perangai buruknya, sehingga Allah SWT memberi kemudahan diriku untuk menundukkan seekor harimau sebagaimana yang engkau lihat sendiri. Semuanya terjadi lantaran kesabaranku kepadanya. Lalu aku menikah lagi dengan perempuan yang sholihah ini. Aku sangat gembira mendapatkannya, maka harimau itupun dijauhkan dari diriku. Aku memanggul sendiri kayu bakar sekarang lantaran kegembiraanku."

Sumber bacaan : Subulus Salam bab Nikah.

Read More - Mampu Taklukkan Harimau dengan Kesabaran

Wednesday, 13 July 2011

Bahlul dan Burung Hantu


From: Maroko

Di masa mudanya, Bahlul hidup bersama ibunya. Ibunya adalah seorang perempuan miskin yang hampir tidak punya apa-apa kecuali seekor kambing dan anak lelakinya sendiri. Tibalah suatu hari ketika dia tidak punya uang lagi dan tidak ada apa pun di rumah yang dapat dimakan.
Ke sinilah, anakku, semoga Allah melindungimu dan memberimu rezeki,” katanya. “Bawalah kambing ini ke pasar di kota dan juallah agar kita dapat membeli sepotong roti untuk makan kita.

Bahlul membawa kambing itu keluar dari desa. Tidak lama kemudian dia tiba di sebuah tempat yang sunyi. Dia melihat seekor burung hantu hinggap di atas sebuah batu.
Uh-huh!” seru si burung hantu.
Apakah kamu ingin membeli kambingku?” tanya Bahlul.
Uh-huh!
Apakah kamu punya uang sepuluh dinar untuk membayarnya?” tanya Bahlul.
Uh-huh!
Kalau begitu dia jadi milikmu; semoga dia bisa mendatangkan keberuntungan kepadamu!” kata Bahlul. Dia menunggu dibayar dan akhirnya meminta uang pada burung hantu, tapi burung hantu hanya mengulang seruannya, “Uh-huh!
Jika kamu ingin aku datang untuk mengambil uangnya besok, maka aku akan kembali!” kata Bahlul, dan berlari pulang.
Berapa uang yang kamu peroleh darinya?” tanya ibu Bahlul ketika dia melihatnya pulang tanpa kambingnya.
Aku setuju untuk menunggu bayaran sepuluh dinar sampai besok,” kata Bahlul.
Mengapa, kepada siapa kamu menjualnya?” tanya sang ibu.
Kepada seekor burung yang berkata ‘Uh-huh!’ Dia berjanji uangnya akan siap besok.
Kamu tidak akan mendapatkan uang atau buah melon dari seekor burung hantu, anakku,” kata ibu Bahlul. “Kita tidak akan melihat uang sepuluh dinar besok atau pada saat panen aprikot, semoga Allah mengampuni kebodohanmu!

Keesokan harinya, Bahlul kembali ke tempat sunyi itu, dan menemukan si burung hantu hinggap di atas batu yang sama.
Aku datang untuk mengambil uang pembayar kambingku,” seru Bahlul, tapi yang dikatakan burung hantu hanya “Uh-huh!” Akhirnya, Bahlul memungut sebutir batu dan melempar burung itu, yang terbang menuju sebuah lubang sempit di antara dua batu besar. bahlul mengejarnya dan menemukan dirinya telah berada di sebuah goa. Di atas tanah, di depannya berdiri sebuah kendi tanah liat yang penuh berisi kepingan emas. “Akan kuambil apa yang kamu pinjam dariku,” kata Bahlul pada burung hantu, dan menghitung sepuluh kepingan emas.

Dari mana kamu menemukan semua ini, putraku?” tanya ibunya.
Aku mengikuti burung itu ke goanya dan mengambil apa yang dia pinjam dariku dari persediaan emas miliknya.
Dapatkah kamu menemukan tempat itu lagi?
Ya,” kata Bahlul.
Maukah kamu membawaku ke sana besok?
Dengan senang hati,” kata Bahlul.



Sebelum pergi tidur malam itu, ibu Bahlul memasak sepanci penuh buncis dan sejenis kacang lainnnya serta mengikatnya pada sebuah kantung. Begitu hari terang, dia membangunkan putranya, dan mereka berdua berangkat menuju goa si burung hantu. Setinya di sana, ibu Bahlul meniti bebatuan, memanjat ke dalam goa, dan mengumpulkan seluruh emas di situ untuk dimasukkan ke rok bajunya. Tidak lama kemudian, dia dan anaknya sudah dalam perjalanan pulang kembali. Dalam perjalanan pulang ke desa, ibu Bahlul terus melemparkan segenggam buncis dan kacang masak ke udara. Bahlul sigap menangkapnya dan memasukkannya ke dalam mulutnya.

Sementara ibunya dengan hati-hati menggali sebuah lubang di lantai rumah mereka untuk mengubur panci berisi emas itu, Bahlul menyebarkan kabar baik itu kepada semua orang yang ditemuinya. “Ibuku telah menemukan harta karun!” katanya gembira kepada orang-orang desa.
Di mana dia menemukannya?” tanya mereka.
Di antara bebatuan di jalan sana.
Kapan dia menemukannya?
Tepat sebelum turun hujan buncis dan kacang.

Mendengar jawabannya, orang-orang desa tersenyum maklum dan menggeleng-gelengkan kepala mereka.

Read More - Bahlul dan Burung Hantu

Abu Nawas dan Ratu


From: Suriah

Suatu kali Abu Nawas meminta izin Harun Al-Rasyid untuk meminta seekor keledai dari setiap suami di kerajaan itu yang terbukti takut pada istrinya. Beberapa saat kemudian, ketika Khalifah sedang duduk di jendela istana, dia melihat kepulan debuh di cakrawala. Segera saja dia tahu Abu Nawas sedang menggiring kawanan keledai ke pasar ternak. “Apa artinya ini, Abu Nawas?” tanyanya.



Inilah keadaan kerajaan paduka yang menyedihkan, Tuanku,” kata Abu Nawas. “Bukankah paduka memberi izin pada hamba meminta seekor keledai dari setiap pria yang takut pada istrinya? Omong-omong, di perjalanan hamba melihat seorang gadis dengan pipi bagaikan buah delima. Hamba segera ingat paduka ...

Shh!” bisik Khalifah. “Ratu Zubeida sedang duduk di balik tirai itu. Dia akan mendengarmu!

Tuanku,” kata Abu Nawas, “dari rakyat di negeri paduka hamba telah meminta seekor keledai; untuk raja dendanya dua ekor keledai. Mohon keledainya yang berbulu putih.

Read More - Abu Nawas dan Ratu